Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Tabur Meme, Tuai Jeruji: Ketika Ekspresi Digital Berhadapan dengan Hukum dan Etika Publik

Oleh Gian Barani
SHARE   :

Tabur Meme, Tuai Jeruji: Ketika Ekspresi Digital Berhadapan dengan Hukum dan Etika Publik
Foto: Kebebasan berekspresi di media sosial kembali diuji, kasus mahasiswi ITB menjadi refleksi tentang adab, hukum, dan masa depan demokrasi digital.(Sumber: Dok. Istimewah)

Pantau - Media sosial hari ini telah menjelma menjadi panggung ekspresi bebas tanpa batas, namun di balik layar digitalnya, hukum tetap mengintai setiap pengguna yang mungkin tak menyadari risiko ekspresinya.

Kasus mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS yang mengunggah meme bergambar Presiden Prabowo dan Presiden Jokowi dalam pose tak pantas telah menyeretnya ke jeruji hukum dan membuka kembali perdebatan tentang batas kebebasan berekspresi.

Penahanan terhadap SSS menuai berbagai tanggapan, termasuk pertanyaan mendasar: apakah ekspresi visual sekeras meme layak dibalas dengan penahanan?

Antara Hukum, Adab, dan Moral: Pelajaran dari Kasus SSS

Penulis artikel ini mengajak publik merenungkan hubungan antara hukum, adab, dan moral, sembari merujuk pada konsep "hukum tabur tuai" dalam Islam — bahwa segala perbuatan memiliki konsekuensi, namun bukan berarti harus dibalas secara reaktif dan keras.

Meme, dalam dunia seni dan kritik politik, merupakan simbol dan metafora yang sering menyampaikan ironi, absurditas, atau bahkan kritik tajam terhadap kekuasaan.

Namun dalam masyarakat yang belum sepenuhnya siap menerima kritik, simbol semacam itu bisa ditafsirkan sebagai tindakan subversif dan berujung pidana.

Aparat menanggapi unggahan SSS dengan penahanan, menciptakan benturan antara hak atas kebebasan berekspresi dan keharusan menjaga etika publik.

Dalam kerangka hukum Islam, keutamaan ada pada pengampunan dan kesempatan bertobat, bukan sekadar penghukuman.

UU ITE yang digunakan dalam kasus ini kerap dinilai memiliki pasal-pasal karet dengan ruang tafsir luas yang bisa disesuaikan dengan kepentingan penguasa atau tekanan massa.

Alih-alih pendekatan represif, penulis menilai kasus ini lebih layak ditangani secara restoratif — menekankan pembelajaran, dialog, dan bimbingan etis, bukan hukuman semata.

Penahanan terhadap mahasiswa yang masih belajar mengekspresikan diri lewat visual semestinya diganti dengan pendekatan edukatif yang menumbuhkan kesadaran.

Antara Ketakutan dan Kesempatan: Menuju Demokrasi Digital yang Sehat

Pendidikan tinggi seperti ITB seharusnya menjadi ruang aman bagi eksperimen gagasan, keberanian berpikir, dan kreativitas — bukan medan pembatasan atau ketakutan.

Penegakan hukum yang mengabaikan konteks sosial dan dimensi etika justru menciptakan masyarakat yang takut bersuara, bukan bijak dalam berekspresi.

Penulis mengingatkan bahwa Rasulullah sendiri menghadapi musuh-musuhnya dengan kasih dan kelembutan, bukan paksaan dan kekerasan.

Adab, akhlak, dan moral seharusnya tidak hanya diajarkan dalam ruang kelas, tetapi juga menjadi ruh dalam praktik hukum dan kehidupan sosial.

Makna sebuah meme bisa berubah sesuai dengan zaman dan budaya, dan penegak hukum seharusnya mempertimbangkan konteks tersebut alih-alih menerapkan sanksi mutlak.

Konsekuensi atas tindakan harus bersifat mendidik dan memberi ruang perbaikan, bukan menghukum tanpa ampun.

Penulis menutup artikel dengan pertanyaan reflektif: apakah Indonesia akan menjadi bangsa yang menghukum ekspresi dengan penjara, atau bangsa yang menumbuhkan diskusi sehat dan penuh tanggung jawab?

Jika yang terus ditabur adalah represivitas, maka yang akan dituai adalah masyarakat yang apatis, takut berpikir, dan kehilangan keberanian untuk bersuara.

Solusinya hanya satu: kembali pada nilai-nilai adab, akhlak, etika, dan moral — bukan sekadar jargon, tetapi sebagai prinsip nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis :
Gian Barani