Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Pendidikan STEM Perlu Dibumikan, Bukan Ditiru Mentah: Bangun Masa Depan Lewat Rasa Ingin Tahu Anak

Oleh Balian Godfrey
SHARE   :

Pendidikan STEM Perlu Dibumikan, Bukan Ditiru Mentah: Bangun Masa Depan Lewat Rasa Ingin Tahu Anak
Foto: STEM harus membumi, kontekstual, dan berakar budaya agar pendidikan Indonesia mampu membangun masa depan lewat rasa ingin tahu anak.(Sumber: ANTARA/HO-The Riady Foundation/aa.)

Pantau - Anak-anak Indonesia tumbuh dengan rasa ingin tahu alami yang tinggi terhadap alam, budaya, dan kehidupan di sekitar mereka. Mereka belajar dari sawah, sungai, cerita nenek moyang, bukan hanya dari buku cetak kaku yang tak kontekstual. Namun sayangnya, sistem pendidikan nasional masih belum mampu menjaga dan menumbuhkan keingintahuan itu.

Pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) seharusnya menjadi jalan untuk memperkuat daya pikir kritis dan inovatif anak-anak, tapi justru kerap disajikan dalam bentuk hafalan dan ujian semata.

Stephanie Riady dalam tulisannya menegaskan bahwa Indonesia butuh STEM yang membumi—berbasis inquiry, berbentuk proyek lintas disiplin, dan mengangkat kearifan lokal.

STEM Tidak Sekadar Ilmu, Tapi Cara Hidup Anak Bangsa

Negara-negara seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura telah berhasil dalam pendidikan karena mengubah metode belajar dari takut ke ingin tahu, dari hafalan ke pemecahan masalah.

Namun, Indonesia tidak bisa sekadar meniru karena realitasnya berbeda: wilayah luas, budaya majemuk, dan pengetahuan lokal yang sangat kaya. Maka, pendidikan STEM di Indonesia perlu menjelma menjadi bentuk pembelajaran yang kontekstual, menyatu dengan budaya dan lingkungan.

Contohnya, di Tana Toraja, anak-anak bisa belajar struktur rumah adat Tongkonan dan kaitannya dengan gempa bumi dan aerodinamika. Di Jawa Tengah, mereka bisa belajar ekosistem dan irigasi sawah langsung bersama petani, memahami siklus air dan kehidupan.

Sains yang Dekat, Anak yang Melekat

Pendekatan ini terbukti berhasil. Penelitian dari National Research Council (2009) dan Stanford Graduate School of Education (2010) menunjukkan bahwa pembelajaran sains berbasis lokal meningkatkan pemahaman dan minat siswa.

UNESCO juga membuktikan hal serupa lewat program Scientific Camps of Excellence di Kenya—anak-anak belajar STEM lewat eksperimen sederhana, dikaitkan dengan tradisi mereka.

Namun realitanya, sistem pendidikan sains di Indonesia masih kaku dan terpisah dari kehidupan nyata. Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 80 negara dalam literasi sains, bukan karena anak-anak tidak cerdas, tapi karena pendekatannya tidak tepat.

Gerakan STEM Harus Dimulai dari Guru dan Masyarakat

Solusinya: pelatihan guru yang mendorong pembelajaran kreatif, berbasis pengalaman, dan sensitif terhadap budaya lokal. Guru perlu menjadi fasilitator yang mampu mengubah ruang kelas menjadi laboratorium hidup.

Penguatan STEM juga harus menjadi gerakan sosial. Misalnya lewat:

  • Pekan Sains Nasional
  • Kompetisi jingle sains
  • Kampanye media sosial tentang penemu muda
  • Kegiatan sains berbasis komunitas di desa dan kota

Anak-anak harus tampil, didengar, dan dihargai. Pendidikan tidak boleh menyiapkan mereka menghadapi dunia masa lalu, melainkan dunia yang belum ada. Dunia yang menuntut empati, logika, inovasi, dan kearifan dalam satu tarikan napas.

STEM yang Membumi Membangun Indonesia dari Akar

Pendidikan STEM yang membumi bukan hanya mencetak teknokrat. Ia mencetak manusia utuh yang berpikir kritis, kreatif, dan punya akar budaya.

Stephanie menutup artikelnya dengan harapan: Indonesia memiliki potensi besar. Kita hanya perlu lebih banyak tangan untuk menyalakan pelita pendidikan—di sekolah, rumah, desa, kota, dan ruang digital. STEM yang dimasyarakatkan bukan sekadar inisiatif pendidikan, tapi undangan bersama untuk membangun masa depan.

Penulis :
Balian Godfrey