
Pantau - Aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, memunculkan kontroversi luas akibat dampak kerusakan lingkungan yang serius.
Kondisi lahan bekas tambang menunjukkan degradasi ekstrem: struktur tanah rusak, miskin hara, terkontaminasi logam berat, dan kehilangan daya simpan air.
Permukaan tanah yang sebelumnya subur kini berubah menjadi tandus dan berpotensi menjadi sumber pencemaran sistem hidrologi di sekitarnya.
Air larian dari wilayah tambang membawa logam berat ke sungai dan laut, mengancam kehidupan laut dan kesehatan masyarakat.
Dalam beberapa kasus, air tanah di sekitar lokasi bekas tambang menunjukkan kandungan logam berat melebihi ambang batas aman untuk konsumsi.
Kerusakan ini tidak hanya soal teknis reklamasi, tetapi menyangkut pemulihan keseimbangan ekologis yang kompleks.
Reklamasi Bukan Sekadar Menanam Pohon: Masyarakat Harus Jadi Pemulih Utama
Upaya reklamasi tidak bisa berhenti pada penanaman pohon semata, tetapi harus mencakup intervensi fisik, kimia, dan biologi secara terpadu.
Penggunaan bahan amelioran seperti kompos, biochar dari limbah pertanian, dan kapur dolomit menjadi langkah awal memperbaiki kondisi tanah.
Biochar terbukti mampu meningkatkan kapasitas tukar kation dan menurunkan toksisitas logam di Kalimantan dan Sulawesi.
Kombinasi penanaman alga tanah, lumut, tanaman pionir penyerap logam berat, dan penggunaan mikoriza arbuskular terbukti efektif memperbaiki tanah.
Mikoriza membantu akar tanaman menyerap hara dan mengurangi toksisitas logam berat, bahkan meningkatkan kandungan karbon organik hingga 2,5 kali lipat dalam dua tahun.
Tanaman lokal seperti Calliandra, Albizia, dan sagu dapat digunakan untuk revegetasi jangka panjang, karena memiliki manfaat ekologis dan ekonomi bagi warga sekitar.
Namun, pemulihan lahan tidak boleh dilakukan secara eksklusif oleh kontraktor teknokratik.
Masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, harus dilibatkan secara aktif karena mereka memiliki pengetahuan dan kearifan dalam mengelola tanah.
Banyak program reklamasi gagal karena mengabaikan keterlibatan komunitas, padahal pendekatan kolaboratif terbukti dua kali lebih berhasil.
Beberapa wilayah telah berhasil mengembangkan skema agroforestri berbasis reklamasi yang memberi pangan, bahan bakar, dan pendapatan bagi masyarakat lokal.
Langkah ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan memastikan keberlanjutan pemulihan ekosistem.
Perlu Revolusi Paradigma: Reklamasi Bukan Sekadar Administrasi
Perusahaan tambang harus berhenti melihat reklamasi sebagai kewajiban administratif semata.
Paradigma baru menuntut tanggung jawab ekologis penuh dari perusahaan, termasuk monitoring jangka panjang dan evaluasi sosial-ekologis.
Reklamasi tidak boleh dilakukan hanya demi memenuhi citra visual “hijau”, tetapi harus berbasis pada data dan indikator biodiversitas yang akurat.
Pemerintah harus hadir melalui regulasi ketat, insentif berbasis sains, dan adopsi nature-based solutions dari agenda iklim global.
Evaluasi pemulihan harus mencakup teknologi remote sensing, analisis biofisik, dan indeks keanekaragaman hayati.
Tanah harus dipahami sebagai ruang hidup yang menyimpan memori ekologis, bukan sekadar objek eksploitasi.
Rehabilitasi lahan berarti membangun kembali jejaring kehidupan, termasuk air, udara, vegetasi, dan struktur sosial-budaya.
Sebagai negara megabiodiversitas, Indonesia memikul tanggung jawab moral besar terhadap dunia.
Kerusakan kawasan wisata ikonik seperti Raja Ampat akan dianggap sebagai kegagalan komitmen Indonesia terhadap keberlanjutan.
Indonesia butuh sistem pemulihan lahan yang proaktif, antisipatif, dan partisipatif.
Pemulihan tanah harus dipandang sebagai proyek peradaban bangsa.
"Tanah bukan hanya tempat berpijak, tetapi juga tempat berpulang". Maka memperbaiki tanah berarti memperbaiki arah pulang sebagai manusia.
- Penulis :
- Balian Godfrey