
Pantau - Efisiensi anggaran yang sering diartikan sebagai pemangkasan belanja tanpa arah justru bisa menjadi alat produktif jika dirancang berdasarkan dampak dan kebutuhan masyarakat.
Pengalaman Amerika Serikat pada era 1950–1980 menunjukkan bahwa birokrasi ramping tidak harus mengorbankan pelayanan publik, sebagaimana dicontohkan oleh lembaga seperti CDC dan NASA.
Prinsip utama efisiensi birokrasi AS mencakup pembatasan jumlah manajer, akuntabilitas berbasis kinerja, pemanfaatan teknologi, serta evaluasi berkala seperti Program Assessment Rating Tool (PART).
Tantangan Birokrasi Indonesia dan Peluang Efisiensi
Birokrasi Indonesia masih menghadapi persoalan struktural seperti tumpang tindih kelembagaan, alokasi anggaran yang tidak berbasis hasil (output), dan resistensi terhadap digitalisasi.
Laporan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) 2023 mencatat potensi penghematan hingga Rp121,9 triliun per tahun, dan meningkat menjadi Rp128,5 triliun pada 2024.
Salah satu strategi kunci adalah delayering, yakni pengurangan lapisan manajerial yang tidak produktif, dengan rasio manajer ideal tidak melebihi 20 persen dari total pegawai.
Namun, efisiensi tanpa kajian dampak bisa kontraproduktif. Contoh konkret adalah larangan rapat di hotel oleh Kemendagri yang menyebabkan penurunan okupansi hotel hingga 60 persen di sejumlah kota seperti Padang, Manado, Balikpapan, dan Yogyakarta.
Di Sumatera Barat, lebih dari 700 pekerja hotel dirumahkan dalam tiga bulan pertama kebijakan, sementara okupansi hotel di Bali sempat anjlok hingga 20 persen sebelum akhirnya kebijakan tersebut direvisi.
Lima Rekomendasi Kebijakan untuk Efisiensi Berdampak
Evaluasi dampak kebijakan secara menyeluruh, termasuk terhadap sektor riil dan lapangan kerja.
Penyederhanaan struktur birokrasi dengan rasio struktural maksimum dan delayering secara bertahap.
Digitalisasi layanan secara terukur dan merata, dengan penguatan SDM teknologi informasi serta sistem layanan daring satu pintu.
Prioritaskan proyek strategis nasional melalui pendekatan impact-based budgeting, bukan pemangkasan merata.
Perkuat sistem evaluasi dan transparansi program melalui audit independen serta pelibatan pihak ketiga.
Transformasi digital di birokrasi masih tertinggal, dengan hanya 35 persen lembaga memiliki SDM TI memadai menurut laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Langkah lanjut yang disarankan adalah peluncuran proyek strategis kementerian (Ministry Strategic Projects) seperti Operation Warp Speed di AS, yang mengandalkan indikator kinerja dan audit independen.
Pengurangan anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp306,7 triliun dalam RAPBN 2025 harus dilakukan berbasis kajian agar tidak berdampak negatif pada sektor produktif.
Belanja pegawai yang mencapai 14,62 persen dari APBN pada 2022 harus dibarengi peningkatan produktivitas, bukan sekadar jumlah posisi struktural.
Pengurangan posisi manajerial tak produktif dapat diimbangi dengan peningkatan SDM profesional berbasis digital, tanpa perlu melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Fokus pada Program Berdampak dan Pertumbuhan Ekonomi
Impact-based budgeting menilai program berdasarkan kontribusinya terhadap tujuan nasional seperti SDGs, pertumbuhan ekonomi, dan pengurangan kemiskinan.
Hingga 2023, Indonesia memiliki 200 Proyek Strategis Nasional (PSN) senilai Rp5.746 triliun di sektor infrastruktur, energi, pangan, dan teknologi.
Pemotongan anggaran tanpa seleksi dapat berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), peningkatan pengangguran, dan hilangnya multiplier effect di sektor swasta.
Pemerintah perlu menata ulang pengeluaran negara, dengan memprioritaskan proyek strategis yang memiliki dampak langsung terhadap masyarakat.
Semangat reformasi birokrasi seharusnya menekankan pada hasil, bukan prosedur; serta inovasi, bukan formalitas.
Efisiensi anggaran yang sesungguhnya bukan tentang mengurangi belanja, melainkan menatanya agar memberikan hasil maksimal bagi rakyat dan perekonomian nasional.
- Penulis :
- Balian Godfrey