Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Komisi XIII Dorong RUU, Korban Kekerasan Dapat Hak Penuh

Oleh Khalied Malvino
SHARE   :

Komisi XIII Dorong RUU, Korban Kekerasan Dapat Hak Penuh
Foto: Tim Kunjungan Kerja Komisi XIII DPR RI saat foto bersama usai pertemuan di Bangka Belitung pada Rabu (2/7/2025). (Dok/DPR RI)

Pantau - Langkah nyata untuk memperkuat keadilan bagi korban kekerasan kini muncul dari tim legislator pusat. Pada Rabu (2/7/2025), Komisi XIII DPR RI menggelar uji publik di Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, guna membahas draf revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pertemuan tersebut menghadirkan unsur pemerintah daerah, akademisi, LPSK, serta organisasi masyarakat sipil. Diskusi berjalan dinamis dengan fokus utama: memperluas perlindungan hukum yang selama ini terbatas secara definisi.

“Selama ini, perlindungan hukum hanya diberikan untuk kasus-kasus yang dinilai membahayakan jiwa,” ujar Anggota Komisi XIII DPR RI dari Dapil Babel, Melati saat membuka forum uji publik.

Ia menyebut, banyak korban kekerasan rumah tangga, mutilasi genital perempuan, dan kejahatan lingkungan justru hidup tanpa jaminan hukum yang layak.

Sepanjang 2024, LPSK menerima 1.382 permohonan perlindungan. Namun, hanya sekitar 60 persen yang disetujui. Selebihnya ditolak akibat keterbatasan definisi subjek perlindungan dalam UU yang berlaku.

Di Bangka Belitung, angka kekerasan terhadap anak memperlihatkan keprihatinan tersendiri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah mencatat lebih dari 120 laporan kekerasan seksual sepanjang 2023.

“Angka ini bukan sekadar statistik,” tegas Melati saat menjelaskan dampak kekerasan di hadapan peserta forum.

Ia menyebut trauma, kehilangan, dan kerentanan sebagai realitas yang harus dijawab negara. RUU yang sedang dibahas ini menargetkan perubahan signifikan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Komisi XIII DPR RI menekankan pentingnya perlindungan yang melibatkan pelapor, justice collaborator, bahkan agen penyamaran (undercover agent).

Selain itu, draft RUU juga mencantumkan pengakuan resmi terhadap Victim Impact Statement. Ini memungkinkan korban menyampaikan dampak emosional dan psikologis di pengadilan, mirip praktik hukum di negara-negara seperti Kanada dan Australia.

“Dalam sistem peradilan kita saat ini, suara korban masih kerap tenggelam,” jelas Melati, merujuk pada keterbatasan ruang dalam proses peradilan pidana.

Negara Harus Hadir

Komisi XIII juga sedang mengkaji pembentukan skema Dana Abadi Korban (Victim Trust Fund). Dana ini dirancang untuk membantu pemulihan korban melalui dukungan medis, psikologis, serta kompensasi ekonomi bagi korban yang kehilangan penghasilan.

Skema ini mengadaptasi praktik serupa yang telah diterapkan di Afrika Selatan dan sejumlah negara Eropa. Skema ini dianggap vital untuk mendorong keberlanjutan pemulihan korban di luar jalur pengadilan.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, menegaskan bahwa revisi UU ini perlu sinkron dengan UU Perampasan Aset dan revisi KUHP yang kini berjalan bersamaan.

“Kami ingin memastikan bahwa setiap revisi regulasi bergerak harmonis, bukan tumpang tindih,” ujar politisi Fraksi Partai Gerindra, Sugiat usai sesi diskusi di Pangkalpinang.

Ia menekankan, integrasi sistem peradilan pidana harus menjadikan perlindungan korban sebagai pilar utama.

Dalam forum serupa, Ketua LPSK 2024–2029, Antonius Prijadi Soesilo Wibowo, menyebut inisiatif Komisi XIII sebagai komitmen nyata terhadap keadilan berbasis korban.

Sementara itu, Melati kembali menyoroti kendala geografis di daerah kepulauan. Ia menilai, ketimpangan akses hukum semakin memperburuk kerentanan kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak-anak.

“Di wilayah kepulauan seperti Bangka Belitung, akses terhadap perlindungan hukum sering tidak merata,” ujar Melati saat menutup diskusi siang itu.

BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat, 31 persen perempuan mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan sepanjang hidup mereka. Angka ini menjadi dasar argumentasi Komisi XIII bahwa pembaruan regulasi bukan hanya mendesak, melainkan esensial.

Melalui forum terbuka ini, Komisi XIII menyampaikan komitmen bahwa perlindungan hukum harus menjadi hak universal, bukan kemewahan yang hanya dinikmati segelintir orang. Warga di wilayah kepulauan pun, menurut mereka, harus merasakan tangan negara yang hadir secara penuh dan merata.

Penulis :
Khalied Malvino
Editor :
Khalied Malvino