Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

RUU PPRT Masih Tertahan di Baleg, Willy Aditya Desak Komitmen DPR Sesuai Janji Presiden

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

RUU PPRT Masih Tertahan di Baleg, Willy Aditya Desak Komitmen DPR Sesuai Janji Presiden
Foto: Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya (sumber: DPR RI)

Pantau - Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, mendesak percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga kini belum dibahas lebih lanjut meskipun sudah mendapat respons positif dari pemerintah dan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.

RUU PPRT Dinilai Mendesak dan Diskriminasi Harus Dihapus

Willy menilai pentingnya segera mengesahkan RUU PPRT karena terdapat diskriminasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Kenapa Undang-Undang PPRT penting? Karena di dalam ketenagakerjaan kita, Undang-Undang 13 Tahun 2003 itu sangat diskriminatif. Pekerja hanya mereka yang bergerak di sektor barang dan jasa, di luar itu tidak pernah diakui sebagai pekerja,” ungkapnya.

Ia menyebut perlindungan bagi pekerja rumah tangga saat ini hanya bersandar pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, tanpa cantolan hukum dalam undang-undang induk ketenagakerjaan.

"Itu sudah fundamental problem. Jadi (sayang sekali) mereka cuma dilindungi oleh Permenaker," ujarnya.

Willy menegaskan bahwa hak pekerja rumah tangga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.

RUU PPRT, menurutnya, bersifat lex specialis seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan harus memuat standar perlindungan yang komprehensif serta terintegrasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Tanpa integrasi hukum yang kuat, pekerja rumah tangga disebut akan terus rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan serta tidak memiliki jalur hukum yang memadai.

"Di zaman sekarang ini, masih ada eksploitasi yang sangat un-human, orang disuruh kerja. Ini kan, seperti fenomena gunung es ya, di mana ini dianggap urusan rumah tangga orang," katanya.

Ia juga menyoroti adanya pandangan bahwa eksploitasi terhadap pekerja rumah tangga dianggap urusan privat dan bukan urusan publik.

"Ini dibentengi oleh tingginya dan tebalnya urusan domestik. Sehingga kita undang kawan-kawan dulu untuk duduk bersama agar undang-undang ini tidak dipukul rata," ia mengungkapkan.

Janji Presiden dan Komitmen DPR yang Dipertanyakan

RUU PPRT merupakan inisiatif DPR yang sudah diajukan sejak tahun 2004 dan belum pernah disahkan hingga kini.

DPR sebelumnya sudah mengirimkan draf RUU PPRT ke pemerintah dan telah mendapat tanggapan positif, termasuk terbitnya surat presiden serta daftar inventarisasi masalah (DIM).

Namun, hingga akhir masa keanggotaan DPR periode lalu pada Oktober 2024, RUU ini belum sempat dibahas lebih lanjut karena belum ada alat kelengkapan dewan yang ditunjuk.

Pada periode DPR 2024–2029, RUU PPRT kembali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 atas usulan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Dalam pidato Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPRT dalam waktu tiga bulan.

Namun, Baleg DPR menyatakan bahwa pengesahan RUU tersebut kemungkinan besar akan molor dari target yang dijanjikan Presiden.

Willy Aditya meminta komitmen dari pimpinan DPR dan Baleg DPR agar serius membahas dan mengesahkan RUU ini sesuai janji Presiden Prabowo.

"Kalau mendukung kan jangan lain di bibir lain di hati. Kita kan mengkonfirmasi orang sederhana aja, di tindakan, 1000 kata-kata tidak jadi apa-apa tapi satu tindakan bisa merubah apapun," ucapnya.

Molornya pembahasan diklaim Baleg karena tenggat waktu tiga bulan tidak mempertimbangkan kalender kerja DPR yang akan memasuki masa reses pada 25 Juli hingga 15 Agustus 2025.

Selain itu, Baleg DPR juga sedang membahas RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang juga menyita waktu dan sumber daya.

Proses penyusunan dan pembahasan RUU PPRT pun diperkirakan akan melewati batas waktu yang ditetapkan.

Willy berharap Baleg bisa bersikap bijak dan adil dalam proses legislasi RUU PPRT demi keadilan bagi para pekerja rumah tangga.

"Jadi bagaimana proses yang harus kita bangun ini adalah, jangan kemudian kita berat sebelah. Hidup ini kan harus balancing, undang-undang yang pro rakyat mengurus orang banyak ini harus kita jadikan produk. Jangan hanya undang-undang yang lain," katanya.

"DPR kan rumah rakyat, ini pertarungan politik, memang konsekuensi logis dari DPR kan, ada yang sepakat, ada yang enggak. Tapi setidak-tidaknya, kita bisa belajar bahwa periode 2024 adalah periode paling progresif dari UU PPRT," tegasnya.

Penulis :
Shila Glorya