billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Wakil Ketua Komisi IV DPR Dorong Langkah Konkret Atasi Rendahnya Produksi Kakao Nasional

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

Wakil Ketua Komisi IV DPR Dorong Langkah Konkret Atasi Rendahnya Produksi Kakao Nasional
Foto: Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Panggah Susanto (sumber: Humas DPR)

Pantau - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi rendahnya produksi kakao di Indonesia.

Desakan ini disampaikan Panggah dalam kunjungan kerja Komisi IV DPR RI ke pabrik pengolahan cokelat Cau Chocolate di Kabupaten Tabanan, Bali.

"Perlu ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi rendahnya produksi kakao Indonesia," ungkapnya.

Soroti Produktivitas dan Ketertarikan Petani Muda

Panggah mengungkapkan bahwa sejumlah permasalahan mendasar masih dihadapi petani kakao di berbagai daerah, salah satunya adalah minimnya minat dari generasi muda untuk menekuni budidaya kakao.

"Permasalahan kakao di Indonesia sebenarnya sudah sangat jelas. Salah satu alasan mengapa petani kurang tertarik melakukan budidaya kakao karena mereka tidak mendapatkan nilai tambah yang memadai," ia mengungkapkan.

Produktivitas rata-rata kakao di Indonesia disebut hanya sekitar 800 kilogram per hektare, jauh di bawah potensi maksimal yang dapat mencapai 2 ton per hektare.

"Hal ini seharusnya tidak perlu menjadi wacana berulang. Yang diperlukan adalah gerakan konkret untuk mencapai target maksimal tersebut," tegas Panggah.

Fermentasi dan Hilirisasi Jadi Sorotan Utama

Masalah lainnya adalah rendahnya kualitas fermentasi kakao yang dilakukan oleh petani.

Panggah menjelaskan bahwa minimnya kapasitas dan sumber daya menyebabkan banyak petani tidak mampu melakukan proses fermentasi secara optimal.

"Pemerintah mesti membantu petani, karena napas petani kita cekak (pendek), mereka memiliki keterbatasan kapasitas dan sumber daya untuk melakukan proses fermentasi meski dari standar mutunya adalah yang difermentasi," ungkapnya.

Harga jual kakao fermentasi yang hanya lebih tinggi sekitar Rp2.000 per kilogram dibanding kakao non-fermentasi dianggap belum cukup menarik bagi petani untuk melakukan proses tersebut.

Panggah juga menekankan pentingnya hilirisasi untuk mendorong nilai tambah produk turunan kakao.

"Dalam hal ini diperlukan peran sektor industri, maka harus ada sinergi yang baik antara sektor perkebunan dan sektor industri, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sektor perkebunan, karena kalau tidak ada sinergi akan jadi mentok. Hilirisasi ini berada dalam rezim industri," jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa tanpa kolaborasi yang kuat antara sektor industri dan perkebunan, upaya hilirisasi kakao akan sulit berjalan.

"Jika tidak ada kolaborasi yang kuat, upaya hilirisasi akan sulit berjalan. Saya kira tidak perlu terlalu banyak dibahas, yang terpenting adalah dikerjakan," pungkasnya.

Penulis :
Arian Mesa