
Pantau - Di tengah kemajuan teknologi digital, praktik taklid—yakni mengikuti tanpa memahami secara menyeluruh—masih marak terjadi, meskipun dalam bentuk yang lebih modern. Perubahan pola ini bukan lagi karena ketidaktahuan semata, melainkan karena framing informasi yang viral namun tidak utuh dan belum tentu terverifikasi.
Hal ini ditegaskan oleh Dahlan Iskan, yang menyatakan, “Dulu, Kebenaran dibentuk oleh Fakta. Kini, Kebenaran dibentuk oleh Framing (pembelokan lewat kekuatan persepsi).”
Kasus Transfer Data RI-AS dan Potongan Informasi yang Viral
Contoh nyata dari framing digital terbaru muncul dalam pernyataan resmi Gedung Putih pada 23 Juli 2025 mengenai penghapusan hambatan perdagangan digital antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Dalam pernyataan tersebut, disampaikan bahwa kedua negara akan menyelesaikan komitmen kerja sama di bidang perdagangan digital, jasa, dan investasi.
Salah satu komitmen penting adalah bahwa Indonesia akan memberikan kepastian atas kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat.
Pernyataan lengkap menyebutkan:
“Indonesia juga akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan bahwa Amerika Serikat merupakan negara atau yurisdiksi yang memberikan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia.”
Namun, sebagian pihak hanya mengutip potongan kalimat awal—“Indonesia juga akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat”—tanpa menyertakan konteks hukum dan pengakuan atas perlindungan data yang memadai.
Potongan informasi tersebut kemudian diviralkan, menciptakan kesalahpahaman publik tentang seolah-olah Indonesia secara sepihak menyerahkan kendali data pribadi ke luar negeri.
Taklid Digital Timbulkan Risiko Kesalahpahaman Publik
Fenomena ini menjadi contoh nyata taklid digital, di mana publik mengikuti informasi viral tanpa menelusuri sumber lengkap atau memahami konteks substansial dari kebijakan yang dibahas.
Akibatnya, muncul risiko kesalahpahaman serius terhadap kebijakan strategis, terutama yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan data pribadi.
Para pihak terkait menekankan bahwa pengakuan Amerika Serikat sebagai negara dengan perlindungan data memadai dilakukan sesuai dengan hukum Indonesia, dan bukan berarti terjadi pengalihan kendali atas data pribadi warga negara.
Pentingnya Literasi Informasi dan Penelusuran Sumber
Situasi ini menegaskan pentingnya literasi informasi di era digital.
Masyarakat disarankan untuk menelusuri sanad atau sumber informasi sebelum mempercayai dan menyebarkannya, terlebih bila menyangkut isu lintas negara yang sensitif.
Pemahaman utuh menjadi kunci dalam menjaga ruang digital yang sehat dan tidak mudah terjebak dalam manipulasi persepsi.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf