billboard mobile
HOME  ⁄  Nasional

Kemenag Ajak Kampus Perkuat Ketahanan Keluarga di Tengah Lonjakan Perceraian

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Kemenag Ajak Kampus Perkuat Ketahanan Keluarga di Tengah Lonjakan Perceraian
Foto: (Sumber: Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Abu Rokhmad. ANTARA/HO-Kemenag)

Pantau - Kementerian Agama (Kemenag) mengajak perguruan tinggi terlibat aktif membangun ketahanan keluarga di tengah tingginya angka perceraian dan penurunan jumlah pernikahan dalam lima tahun terakhir.

Revitalisasi Peran Kampus

"Keluarga diharapkan masuk dalam agenda strategis pendidikan tinggi," ujar Direktur Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, di Jakarta, Senin.

Abu mendorong perguruan tinggi menjadikan isu keluarga sebagai riset terapan, basis pembelajaran lintas disiplin, dan ruang pengabdian masyarakat.

Ia menilai studi keluarga tidak hanya relevan di fakultas agama atau sosial, tetapi juga menjadi agenda lintas ilmu seperti psikologi, hukum, ekonomi, hingga kebijakan publik.

Revitalisasi peran kampus dalam penguatan ketahanan keluarga disebut sebagai prasyarat untuk menjawab tantangan menuju Indonesia Emas 2045.

"Kalau keluarga rapuh, bagaimana mungkin kita bicara tentang bonus demografi atau SDM unggul," kata Abu.

Tantangan Ketahanan Keluarga dan Program Intervensi

Data Kemenag mencatat jumlah pernikahan turun dari lebih dua juta pada 2019 menjadi 1.478.424 pada 2024.

Angka perceraian pada 2024 mencapai 466.359 perkara atau 31,5 persen dari total pernikahan di tahun tersebut.

Dari total penduduk Indonesia 281 juta jiwa pada 2024, sekitar 66 juta berada pada usia siap menikah (20–35 tahun), namun hanya 23,4 persen yang menikah.

Survei GenRe 2024 menunjukkan hanya 26 persen anak muda usia 21–24 tahun yang merasa tidak takut menikah.

Menurut Abu, tren ini mencerminkan masalah mendasar dalam sistem pendukung keluarga.

"Kita tidak hanya berhadapan dengan perubahan perilaku generasi muda, tetapi dengan lemahnya sistem pendukung untuk membangun dan menjaga institusi keluarga," ujarnya.

Narasi marriage is scary dinilai muncul akibat kombinasi masalah ekonomi, beban sosial, dan persepsi negatif terhadap stabilitas perkawinan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Ditjen Bimas Islam mengembangkan tiga program bimbingan: Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS), Bimbingan Remaja Usia Nikah (BRUN), dan Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin (Bimwin).

"Kami perlu memperluas cakupan hingga pascanikah, terlebih lima tahun pertama yang merupakan masa paling rawan terjadinya perceraian," kata Abu.

Strategi pascanikah ini mencakup integrasi pemberdayaan ekonomi berbasis Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai simpul intervensi keagamaan dan sosial-ekonomi.

"Keluarga yang bertahan di tengah krisis, membesarkan generasi dengan nilai dan ketahanan. Di situlah titik konsentrasi untuk Indonesia Emas 2045," ujarnya.

Penulis :
Ahmad Yusuf