
Pantau - Semasa hidupnya, Mbah Ji dikenal sebagai veteran pejuang kemerdekaan yang selalu penuh semangat menyambut perayaan 17 Agustus.
Ia tak pernah lelah mengingatkan warga di lingkungannya untuk memasang bendera Merah Putih di depan rumah setiap menjelang HUT RI.
Bagi Mbah Ji, perayaan Hari Kemerdekaan bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah "lebaran nasional" yang harus disambut dengan gembira oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Semangat Mbah Ji yang Tak Pernah Padam
Meskipun kini telah tiada, semangat nasionalisme Mbah Ji tetap hidup dalam tradisi warga di lingkungannya.
Setiap tahun, warga bergotong royong memasang umbul-umbul dan bendera Merah Putih secara meriah dengan dana swadaya.
Istilah "lebaran" sendiri berasal dari bahasa Jawa, dari kata lebar yang berarti lapang atau luas.
Dalam konteks kemerdekaan, maknanya meluas menjadi kelapangan jiwa dalam menerima dan mensyukuri kemerdekaan yang diraih melalui perjuangan dan pengorbanan.
Kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari penjajah, melainkan hasil perjuangan melawan senjata canggih dengan bambu runcing dan semangat pantang menyerah.
Ketidakseimbangan kekuatan saat itu menjadi bukti kuatnya optimisme dan daya juang para pendiri bangsa.
Semangat itulah yang menjadi modal primordial nasionalisme Indonesia, dan perlu terus dirawat lewat momentum "lebaran nasional" setiap Agustus.
Nasionalisme Zaman Kini: Wujudkan Generasi Emas
Dalam skala kecil, semangat nasionalisme itu tampak dari meriahnya perayaan Agustusan di pelosok Nusantara.
Warga tanpa hitung-hitungan biaya membersihkan lingkungan dan menghiasnya dengan umbul-umbul serta lampu warna-warni.
Nilai gotong royong dan kepedulian seperti ini semestinya dilanjutkan dalam konteks kekinian, salah satunya dalam dunia pendidikan.
Jika pendidikan adalah modal dasar kemajuan bangsa, maka siapapun bisa berperan mendukung anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk bisa kuliah.
Bentuk dukungan tidak selalu berupa dana besar—bisa berupa bantuan uang indekos, buku, UKT, atau bahkan sekadar informasi beasiswa dan motivasi belajar.
Peran strategis juga bisa dimainkan oleh guru yang mengetahui potensi murid-muridnya dan menjadi jembatan antara mereka dengan pihak yang mampu.
Di beberapa daerah, program “satu keluarga satu sarjana” menjadi model yang bisa diperluas melalui partisipasi warga.
Jika satu keluarga bisa membantu satu anak miskin hingga menjadi sarjana, itu merupakan wujud konkret dari nasionalisme para pejuang kemerdekaan.
Anak-anak yang berhasil melalui bantuan orang lain kelak akan tumbuh menjadi agen penyebar semangat gotong royong dan kepedulian.
Mereka akan mengingat uluran tangan yang pernah mereka terima dan terdorong untuk melakukan hal yang sama bagi generasi berikutnya.
Orang berkecukupan tidak seharusnya hanya fokus pada anaknya sendiri, tetapi juga peduli pada generasi muda berpotensi di sekitar mereka.
Guru, pejabat, pelaku UMKM, hingga aparatur negara pun bisa mengambil peran, bahkan hanya untuk satu anak per tahun.
Peran ini bisa dilakukan secara kolektif—misalnya dua keluarga bergotong royong membiayai satu anak.
Inilah bentuk nasionalisme sejati, warisan Mbah Ji dan para pejuang lainnya, yang dapat mengantar Indonesia menuju Generasi Emas 2045.
- Penulis :
- Aditya Yohan