
Pantau - Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan perdananya pada 15 Agustus 2025 menegaskan langkah tegas pemerintah dalam menertibkan perkebunan sawit dan tambang ilegal yang selama ini merugikan negara dan merusak lingkungan hidup.
Sawit dan Tambang Ilegal Jadi Sorotan
Presiden menekankan bahwa tidak boleh ada pihak yang menghalangi pemerintah dalam menindak sawit dan tambang ilegal, dengan tujuan mencegah kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah per tahun sekaligus melindungi hutan, gambut, dan sungai.
Dari 3,7 juta hektare sawit ilegal, sebanyak 3,1 juta hektare telah berhasil dikembalikan ke negara, termasuk lahan yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi.
Presiden juga menyebut adanya pemegang konsesi yang tidak melaporkan luas lahan, mengabaikan audit, serta putusan pengadilan inkrah 18 tahun lalu yang tak kunjung dieksekusi.
Selain itu, tercatat 1.063 tambang ilegal dengan potensi kerugian mencapai Rp300 triliun per tahun, yang menimbulkan kerusakan di Gunung Kuda (Jabar), Bukit Serelo (Sumsel), hingga sungai di Luwu (Sulsel).
Dampak Ekologis dan Bencana
Kerugian akibat tambang ilegal bukan hanya finansial, tetapi juga ekologis berupa banjir bandang, longsor, hilangnya air bersih, dan rusaknya pertanian.
BNPB mencatat lebih dari 5.500 bencana pada 2024, mayoritas berupa banjir dan longsor.
Di Luwu, ratusan hektare hutan hilang karena tambang ilegal yang memicu banjir setinggi 3 meter di 52 desa dengan 13 korban jiwa serta longsor di jalur Bonglo–Palopo yang menewaskan lima orang.
Pada 2025, kebakaran hutan dan lahan turut marak, mayoritas di lahan gambut. Hingga 1 Agustus, tercatat 8.955 hektare terbakar, termasuk 6 hektare di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, yang berada di area sawit ilegal.
Tidak Ada yang Kebal Hukum
Prabowo menegaskan tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk jenderal aktif dan purnawirawan, pebisnis, elite politik, bahkan kader partai Gerindra sendiri.
Pernyataan ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi aktor besar di balik bisnis sawit dan tambang ilegal.
Karbon, Pasar, dan Tata Kelola
Hutan tropis Indonesia menyimpan 550–900 ton CO2e per hektare.
Pengembalian 3,1 juta hektare sawit ilegal berpotensi menyimpan 1,7–2,8 miliar ton CO2e senilai ribuan triliun rupiah.
Namun kerugian ekologis berupa hilangnya karbon, keanekaragaman hayati, serta fungsi hidrologis sudah terjadi.
Integritas pasar karbon Indonesia dipertaruhkan karena kredibilitas data emisi bisa diragukan dunia internasional.
Untuk mencegah manipulasi, pemerintah menyiapkan tata kelola berbasis koperasi dan perhutanan sosial agar masyarakat tidak bergantung pada perusahaan besar yang kerap menyalahgunakan sistem.
Panglima TNI dan Kapolri diinstruksikan mengawasi agar tidak ada penyusupan oknum dalam program tersebut.
Momentum dan Tantangan
Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga dunia menargetkan penurunan emisi 31,89 persen secara mandiri pada 2030, yang hanya bisa dicapai jika sektor kehutanan dan energi dibenahi.
Penertiban sawit dan tambang ilegal menjadi momentum memperkuat tata kelola lingkungan, namun risiko penyalahgunaan lahan dan kembalinya aktivitas tambang ilegal tetap membayangi.
Data IDXCarbon mencatat transaksi 1,59 juta ton CO2e per 8 Agustus 2025, naik 247 persen sejak 2023, namun masih kecil dibanding potensi nasional. Harga karbon domestik yang rendah membuat investor asing menahan diri.
Tantangan terbesar ada pada pemulihan lahan, pelibatan masyarakat lokal, kepastian regulasi, serta keberanian menindak pelanggar tanpa pandang bulu.
Jika hanya berhenti pada retorika politik, pidato ini akan menjadi gema sesaat.
Namun jika konsisten, transparan, dan berpihak pada rakyat, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci pasar karbon global sekaligus menyelamatkan ekosistem dari kerusakan.
- Penulis :
- Aditya Yohan