
Pantau - Anggota Komisi V DPR RI, Sudjatmiko, menegaskan pentingnya penanganan serius dan terintegrasi terhadap persoalan banjir tahunan yang terus menghantui Kota Bekasi, Jawa Barat.
Ia mendorong agar program normalisasi Sungai Bekasi dimasukkan ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) agar pendanaannya dapat ditanggung langsung oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan.
“Banjir ini tiap lima tahun selalu terjadi. Dampaknya meluas hingga 25 kelurahan dari 12 kecamatan, sekitar 18.700 kepala keluarga terdampak, dengan kerugian lebih dari Rp4 triliun. Kalau hanya mengandalkan Pemda dan PUPR, tentu berat. Karena itu harus masuk PSN,” tegas Sudjatmiko.
Pernyataan tersebut disampaikannya usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi V DPR RI bersama Kementerian PUPR meninjau progres pembangunan Bendungan Kali Bekasi pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Embung, Normalisasi, dan Alih Fungsi Lahan Jadi Sorotan
Sudjatmiko mencontohkan banjir besar yang terjadi pada Maret 2025 akibat curah hujan ekstrem mencapai 232 mm/hari, yang menyebabkan luapan air hingga merendam basement pusat perbelanjaan seperti Mall Giant.
Sebagai solusi jangka menengah dan panjang, ia menyarankan pembangunan embung serta percepatan normalisasi sungai sebagai langkah antisipasi cuaca ekstrem yang makin sering terjadi.
Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Dinas SDA-BMBK telah memulai normalisasi di 65 titik bantaran Sungai Bekasi sejak awal 2025, dengan total anggaran mencapai Rp300 miliar.
Pekerjaan mencakup pengerukan, pembangunan turap, dan pembangunan bendungan kecil.
Hingga Mei 2025, progres proyek baru mencapai 40 persen, dan pada Juli, sudah ada 54 titik di 13 kecamatan yang tersentuh pengerjaan, termasuk wilayah Pebayuran, Babelan, Tambun Utara, dan Karangbahagia.
Target penyelesaian seluruh titik tersebut ditetapkan pada akhir Agustus 2025.
Selain itu, Sudjatmiko mengungkapkan adanya rencana pembangunan delapan embung tambahan yang akan dilakukan melalui kerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Ia menekankan pentingnya menjaga daerah aliran sungai (DAS) melalui pemasangan plank batas, penghijauan dengan pohon jati atau sengon, serta penertiban lahan bantaran.
“Percuma disertifikasi kalau tidak dijaga. Kalau lahannya diserobot masyarakat, sungai makin menyempit, banjir akan terus berulang,” ujarnya.
Irigasi Rusak, Sertifikasi Tumpang Tindih, dan Desakan ke Jasakirta
Sudjatmiko juga menyoroti kerusakan jaringan irigasi akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
“Lucu kalau banjir bukan hanya dari sungai alam, tapi juga dari saluran irigasi. Kalau sawah sudah tidak ada, kembalikan fungsinya sesuai kebutuhan, apakah untuk air minum, peternakan, atau perikanan,” katanya.
Ia memperingatkan Jasakirta, pengelola jaringan sungai di wilayah Bekasi, agar tidak lagi memberikan izin sewa lahan di bantaran sungai kepada pihak ketiga.
“Banyak laporan masuk ke DPR, mereka merasa sudah menyewa puluhan tahun sehingga punya hak atas lahan. Itu harus dihentikan, kembalikan lagi sesuai fungsinya,” tegasnya.
Sudjatmiko juga mengungkap bahwa beberapa lahan yang telah dibebaskan sejak tahun 1960 oleh Kementerian SDA justru kini muncul sertifikat baru, menyebabkan status tumpang tindih dan menghambat proses ganti rugi karena BPN tidak berani membayar.
Ia menilai bahwa upaya normalisasi di 65 titik belum cukup untuk menyelesaikan persoalan banjir secara menyeluruh.
“Kalau lahan bisa segera dibebaskan, tujuh paket pekerjaan — yang mana tiga di antaranya terbengkalai — bisa segera dilaksanakan. Mari kita serius menangani banjir, karena ini menyangkut keselamatan warga dan kerugian besar negara,” tutupnya.
- Penulis :
- Aditya Yohan