Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Kasus Keracunan Massal Terus Terjadi, DPR Desak Pengelolaan Program Makan Bergizi Gratis Dialihkan ke Sekolah

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Kasus Keracunan Massal Terus Terjadi, DPR Desak Pengelolaan Program Makan Bergizi Gratis Dialihkan ke Sekolah
Foto: (Sumber: Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini. Foto: Geraldi/vel)

Pantau - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menyoroti banyaknya persoalan dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Ia menyarankan agar pengelolaan program tersebut dialihkan langsung ke sekolah-sekolah dengan melibatkan komite sekolah untuk menjamin keamanan dan kualitas makanan.

Ribuan Kasus Keracunan dan Serapan Anggaran Rendah

Sejak Januari hingga September 2025, tercatat 5.626 kasus keracunan massal terkait program MBG di 17 provinsi.

Beberapa wilayah yang mengalami kasus keracunan antara lain Kabupaten Banggai Kepulauan, Garut, Tasikmalaya, dan Bau-Bau di Sulawesi Tenggara.

Yahya menyampaikan keprihatinannya atas banyaknya kasus tersebut, terutama karena daerah harus menanggung biaya pengobatan korban di puskesmas dan rumah sakit, padahal dana transfer ke daerah menurun dari Rp864,1 triliun pada APBN 2025 menjadi Rp650 triliun dalam RAPBN 2026.

"Mengingat banyaknya kasus keracunan, perlu dipikirkan alternatif MBG dikelola sekolah bersama komite sekolah," ungkap Yahya.

Saat ini, pengelolaan MBG melibatkan mitra eksternal seperti yayasan dan UMKM untuk pengoperasian dapur serta distribusi makanan.

Namun menurut Yahya, pihak sekolah lebih memahami karakter dan selera siswa sehingga dinilai lebih tepat dalam menyusun menu makanan yang higienis dan aman.

"Karena akan lebih terjamin higienitas dan keamanannya serta sesuai selera anak-anak sekolah. Mereka sudah paham selera anak-anak sekolahnya," ujarnya.

Di sisi lain, serapan anggaran Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana MBG juga menjadi sorotan.

Hingga September 2025, anggaran MBG yang terserap baru mencapai Rp13,2 triliun atau sekitar 18,6 persen dari total alokasi Rp71 triliun.

Padahal, klaim pemerintah menyebut program MBG telah menjangkau 38 provinsi dan 22 juta penerima manfaat, namun belum ada verifikasi memadai karena minimnya informasi publik.

Dorongan Transparansi dan Evaluasi Menyeluruh

Yahya juga menyinggung adanya isu bahwa kasus-kasus keracunan MBG diminta untuk tidak dipublikasikan.

Ia menilai, transparansi dan akuntabilitas yang lemah dapat memperbesar risiko penyalahgunaan anggaran.

"Karena transparansi dan akuntabilitas yang lemah, dikhawatirkan akan memperbesar risiko penyalahgunaan anggaran," tegasnya.

Laporan dari Transparency International Indonesia juga mencatat bahwa beberapa menu MBG tidak mencapai standar nilai Rp10 ribu per penerima manfaat.

Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah memperingatkan bahwa jika hingga akhir Oktober 2025 anggaran MBG tidak terserap secara maksimal, dana akan dialihkan untuk keperluan lain.

Yahya mengutip pernyataan Kepala BGN Dadan Hindayana yang menyebut rendahnya kepercayaan terhadap program MBG sebagai salah satu alasan rendahnya penyerapan anggaran.

"Ini juga untuk mempercepat pencapaian target yang ditentukan. Mengingat serapan anggaran BGN masih rendah sekitar 22 persen," katanya.

Meski begitu, Yahya menyatakan bahwa kerja sama dengan pihak ketiga seperti yayasan masih dapat dilanjutkan, asalkan tata kelola dan keamanan makanan ditingkatkan.

"Bagi yayasan yang sudah bekerjasama dengan BGN tetap dapat dilanjutkan sambil memperbaiki tata kelola dan keamanan makanannya," jelasnya.

Ia mendesak pemerintah memperbaiki mekanisme pelaporan anggaran MBG dan membuka kanal pengaduan publik untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan anggaran.

Penulis :
Ahmad Yusuf