
Pantau - Di Desa Terusan, Kecamatan Sindang, Indramayu, dua perempuan lansia terus menjaga napas terakhir dari batik complongan, warisan budaya khas Indramayu yang kini terancam senja.
Toharoh, perempuan berusia delapan dasawarsa, masih setia menorehkan canting di atas kain mori putih meski penglihatannya mulai kabur.
"Saya besar dari keluarga pembatik," ungkapnya, seraya tetap fokus menggoreskan malam dengan tangan kanan yang lentur meskipun dipahat usia.
Laku Hidup yang Tak Tergantikan
Toharoh mulai membatik sejak usia 12 tahun, belajar langsung dari keluarganya, dan hingga kini tetap bekerja di sebuah workshop kecil setelah mengikuti pengajian di mushola kampung.
Ia membutuhkan waktu tiga hingga empat hari untuk menyelesaikan satu lembar batik tulis dengan ketekunan tinggi, tanpa tergesa-gesa.
Di desanya, hanya segelintir orang yang masih menguasai teknik membatik, sebagian besar dari mereka adalah perajin lansia.
Bagi Toharoh, membatik bukan sekadar pekerjaan, melainkan laku hidup, penawar rindu, dan cara merawat warisan leluhur yang perlahan mulai dilupakan.
Ratinah dan Ketekunan Membatik Complongan
Selain Toharoh, perajin lainnya, Ratinah, juga bekerja di workshop tersebut dan khusus mengerjakan bagian complongan.
"Nenek saya dulu membatik, sekarang dilanjutkan lagi oleh saya," kata Ratinah, meski anak-anaknya tidak ada yang tertarik melanjutkan tradisi ini.
Teknik complongan adalah proses membuat lubang-lubang kecil pada kain dengan jarum mungil, membentuk pola titik-titik rumit yang menjadi ciri khas batik tulis Indramayu.
Meskipun terlihat sederhana, teknik ini membutuhkan konsentrasi dan kesabaran tingkat tinggi karena lubang-lubang kecil harus rapi, teratur, dan mengikuti pola yang sudah ditutup lilin.
Dalam sehari, Ratinah hanya mampu menyelesaikan satu kain, mengikuti alur membatik pada umumnya—membuat motif, melapisi lilin, mewarnai—dengan tambahan lubang-lubang kecil menyerupai barisan semut yang menjadi elemen khas batik complongan.
Menjaga Warisan Bernilai Tinggi
Batik complongan disebut sebagai salah satu kekayaan budaya paling bernilai di Indramayu.
Namun, jumlah perajin yang menguasai teknik ini semakin menyusut seiring usia dan kurangnya regenerasi.
Di tengah senja usia mereka, Toharoh dan Ratinah tetap menjaga tradisi ini hidup, satu titik, satu garis, satu napas demi satu napas batik yang tidak boleh padam.
- Penulis :
- Aditya Yohan