
Pantau - Pemerintah resmi menerbitkan dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) guna memperketat impor ubi kayu, tapioka, dan etanol, sebagai upaya melindungi petani dalam negeri dari kerugian yang berkepanjangan.
Langkah ini merupakan tindak lanjut atas arahan langsung Presiden RI Prabowo Subianto, yang memberi perhatian serius terhadap permasalahan yang menimpa jutaan petani kecil dan buruh tani di berbagai daerah.
Kebijakan ini juga menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak tinggal diam menghadapi anjloknya harga singkong dan ketidakadilan dalam sistem perdagangan produk hasil tani.
Arahan Prabowo dan Krisis Harga di Tingkat Petani
Presiden Prabowo tak hanya menerima laporan, tetapi juga langsung menginisiasi pembahasan khusus mengenai masalah singkong dan tapioka.
Rapat terbatas digelar pada pertengahan September 2025 di Hambalang, diikuti oleh jajaran kementerian terkait untuk merumuskan solusi cepat dan efektif.
Keterlibatan langsung Prabowo ini memberi harapan baru bagi para petani bahwa suara mereka benar-benar diperhatikan di tingkat tertinggi pemerintahan.
Para petani berharap solusi yang diambil dapat menjamin keberlanjutan usaha tani, khususnya di sektor singkong dan tebu.
Lampung, sebagai sentra produksi singkong nasional, menyumbang sekitar 70 persen dari total produksi ubi kayu Indonesia.
Namun demikian, petani di wilayah tersebut terus menghadapi keresahan akibat harga jual panen yang kerap kali sangat rendah dan tidak berpihak pada kesejahteraan petani.
Harga Anjlok, Petani Merugi Bertahun-Tahun
Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI), Dasrul Aswin, menyebut bahwa kondisi petani selama dua tahun terakhir sangat sulit.
Sejak pertengahan 2024, harga singkong hanya berkisar antara Rp1.320 hingga Rp1.340 per kilogram.
Namun harga ini masih dipotong rafaksi 30 hingga 60 persen, sehingga petani hanya menerima sekitar Rp675 per kilogram di tingkat akhir.
Padahal, biaya produksi untuk menanam dan memanen singkong mencapai Rp740 per kilogram.
Dengan harga jual yang lebih rendah dari biaya produksi, mayoritas petani mengalami kerugian dan kehilangan seluruh keuntungan usahanya.
Selain itu, sistem penimbangan di pabrik dinilai tidak transparan.
Dalam satu muatan truk, bobot hasil panen bisa dikurangi hingga enam kuintal, dan pada truk fuso berkapasitas 25 ton, petani bisa kehilangan dua ton dari total berat.
Kondisi ini memicu kemarahan petani, yang kemudian melakukan berbagai aksi, mulai dari demonstrasi hingga pertemuan langsung dengan pihak pemerintah.
Tuntutan Petani dan Langkah Pemerintah
Petani menuntut adanya penetapan harga layak sebesar Rp1.350 per kilogram serta batasan maksimal rafaksi hanya 15 persen.
Merespons tekanan dan keresahan petani, pemerintah mengambil tindakan nyata melalui pembatasan impor produk-produk hasil olahan singkong dan tebu seperti tapioka dan etanol.
Langkah ini diharapkan dapat memperbaiki harga di tingkat petani dan menjaga keberlanjutan usaha tani lokal.
Kebijakan tersebut diharapkan menjadi awal dari reformasi sistem perdagangan hasil pertanian yang lebih adil dan berpihak pada petani kecil.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf