
Pantau - Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Harris Arthur Hedar, menilai pidato Presiden RI Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai simbol kepercayaan diri bangsa Indonesia dan bentuk nyata diplomasi kebenaran.
Menurut Harris, pidato tersebut bukan sekadar rutinitas tahunan kepala negara, melainkan cerminan gaya kepemimpinan yang tegas, percaya diri, dan berakar pada nilai-nilai moral universal.
Pidato Bernas dan Diplomasi Moral
"Dia tidak tampil dengan kalimat yang berliku, tetapi dengan bahasa yang lugas menyuarakan kebenaran. Kata-katanya sederhana namun penuh bobot", ungkap Harris.
Ia menilai retorika Prabowo sebagai sesuatu yang khas karena membuat pesannya tidak hanya terdengar, tapi juga dirasakan oleh publik internasional.
Dalam pidatonya, Prabowo mengutip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai landasan moral, dan menegaskan bahwa kesetaraan manusia bukan hanya jargon, melainkan prinsip yang harus diperjuangkan secara nyata.
Keberanian Prabowo menyuarakan keadilan bagi Palestina dinilai sebagai bagian paling menonjol dari pidatonya.
Presiden RI menyatakan bahwa dunia tidak boleh diam atas penderitaan rakyat Palestina, namun juga menekankan pentingnya menghormati keamanan Israel.
"Ini lah keseimbangan diplomatik yang jarang disentuh secara terbuka. Berpihak pada keadilan tanpa menutup pintu dialog", kata Harris menambahkan.
Citra Indonesia sebagai Jembatan Moral
Posisi Indonesia dalam forum internasional itu dipandang sebagai jembatan moral—berdiri di atas prinsip keadilan tanpa menutup diri dari realitas geopolitik dunia.
Harris menyoroti penutupan pidato Prabowo dengan salam lintas agama sebagai penegasan identitas bangsa Indonesia yang multikultural, religius, dan toleran.
Dunia, menurut Harris, melihat bahwa Indonesia bukan hanya berbicara soal hak asasi manusia dan keadilan, tetapi juga menjadi contoh pluralisme hidup yang harmonis.
Pidato Prabowo mendapatkan sorotan luas dari media internasional.
Media Israel menyoroti penggunaan salam "Shalom", sementara publik global mencatat keberanian Prabowo menyuarakan isu Palestina secara lugas.
Beberapa pemimpin dunia juga mengapresiasi gaya pidato Prabowo yang dinilai tegas, namun tetap konstruktif.
"Pidato di PBB kali ini tidak hanya sekadar seremoni, melainkan statement of intent (pernyataan niat)", tegas Harris, yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas Jayabaya.
Indonesia Tampil Sebagai Penentu Arah Global
Dunia, lanjut Harris, melihat Indonesia—melalui Prabowo—tampil dengan kepercayaan diri, moralitas universal, kepentingan nasional, serta strategi diplomatik yang seimbang.
Momen ini disebut memperkuat posisi Indonesia sebagai negara dengan suara moral yang independen di tengah rivalitas geopolitik dunia.
Indonesia, kata Harris, bukan lagi hanya peserta dalam forum global, tetapi telah menjadi penentu arah percakapan dunia.
Dalam sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum ke-80 PBB yang berlangsung di New York pada Selasa (23/9) waktu setempat, Prabowo menyampaikan pidatonya berjudul Seruan Indonesia untuk Harapan dalam bahasa Inggris selama lebih dari 19 menit.
Ia menjadi pembicara ketiga setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Dalam pidatonya, Prabowo membahas berbagai isu kemanusiaan global, termasuk penderitaan rakyat Palestina serta pengalaman panjang Indonesia dalam penjajahan selama berabad-abad.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Aditya Yohan