
Pantau - Komisi III DPR RI menegaskan bahwa reformasi hukum acara pidana menjadi agenda nasional yang mendesak, seiring dengan akan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP pada Januari 2026.
Dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Komisi III menekankan pentingnya memastikan partisipasi bermakna dari seluruh elemen bangsa dalam proses pembentukannya.
"Komisi III DPR RI dalam rangka melaksanakan mandat UU MD3 tentang fungsi legislasi dan menjamin partisipasi bermakna dalam pembentukan undang-undang, telah mendengarkan aspirasi dari masyarakat sipil, akademisi, aparat penegak hukum, serta kementerian dan lembaga terkait," ungkap Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sari Yuliati.
Komisi III DPR RI Lakukan Kunjungan Kerja Spesifik ke Kalimantan Selatan
Kunjungan kerja spesifik Komisi III DPR RI dipimpin oleh Sari Yuliati dan berfokus pada penyerapaan masukan dari mitra kerja di daerah, khususnya di Kalimantan Selatan.
Pertemuan dilaksanakan di Mapolda Kalimantan Selatan dan dihadiri oleh berbagai unsur mitra kerja seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP), serta akademisi.
Dalam pertemuan tersebut, Kapolda Kalimantan Selatan Irjen Pol. Rosyanto Yudha Hermawan menyampaikan perlunya peninjauan terhadap jangka waktu pemberitahuan penghentian penyidikan.
Ia juga menekankan pentingnya kewajiban tersangka menghadirkan saksi yang meringankan agar proses penyidikan berjalan lebih adil.
Kajati Kalimantan Selatan menyoroti kebutuhan akan pengaturan yang lebih jelas mengenai tata cara penyelidikan, penyidikan, dan pra-penuntutan.
Ia juga mengusulkan penguatan fungsi Kejaksaan sebagai dominus litis, serta pembentukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagai langkah memperkuat sistem check and balance dalam proses penegakan hukum.
Masukan dari Mitra Kerja dan Akademisi Jadi Landasan Panja RUU KUHAP
Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin menyampaikan usulan agar RUU KUHAP mengatur secara eksplisit mengenai siaran langsung persidangan dan penggunaan sidang elektronik.
Selain itu, ia menyoroti perlunya kepastian hukum terhadap kewajiban pembayaran restitusi bagi korban.
Kepala BNNP Kalimantan Selatan mengusulkan agar penyidik BNN memiliki kewenangan yang lebih independen, serta diperpanjangnya tenggat waktu penggeledahan dan penyitaan di daerah-daerah terpencil.
Sementara itu, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat menekankan pentingnya keseimbangan kewenangan antar aparat penegak hukum untuk mencegah ego sektoral.
Ia juga menyoroti perlunya perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban, serta pengaturan yang lebih rinci terhadap mekanisme restorative justice agar sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana nasional.
Sari Yuliati menjelaskan bahwa Komisi III DPR RI sejak awal telah memetakan sembilan kluster utama dalam pembaruan hukum acara pidana.
"Antara lain penguatan hak tersangka, saksi, korban, termasuk penyandang disabilitas; pengaturan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum; penguatan koordinasi antar lembaga penegak hukum; mekanisme restorative justice; hingga pengaturan upaya paksa yang menjunjung tinggi HAM," ia mengungkapkan.
"Seluruh masukan dari mitra kerja dan akademisi akan menjadi bekal penting bagi Panja RUU KUHAP dalam pembahasan bersama Pemerintah pada Masa Sidang II mendatang," tambahnya.
Komisi III DPR RI juga menyampaikan apresiasi kepada mitra kerja di Kalimantan Selatan atas masukan yang konstruktif dan mengingatkan agar aparat penegak hukum tetap menindaklanjuti laporan serta pengaduan masyarakat secara transparan, profesional, dan berkeadilan.
"Kami ingin memastikan bahwa pembaruan hukum acara pidana tidak hanya responsif terhadap tantangan zaman, tetapi juga menghadirkan sistem peradilan pidana yang humanis, transparan, dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," tutup Sari Yuliati.
- Penulis :
- Arian Mesa