
Pantau - Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menyoroti lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Menurutnya, keterlambatan ini menjadi penghambat utama bagi jutaan pekerja rumah tangga (PRT) untuk mendapatkan hak-hak dasar dan jaminan sosial secara layak.
"Kalau tanpa ada undang-undang itu, mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak mereka," ungkap Tadjudin.
PRT Masih Rentan dan Tanpa Status Hukum
RUU PPRT telah didesakkan sejak tahun 2004 dan bahkan inisiatif pembentukan undang-undangnya sudah ada sejak tahun 1980-an, namun hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti.
Tadjudin menekankan bahwa keberadaan payung hukum sangat penting agar PRT bisa mengakses perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
"Mereka (DPR) tidak memikirkan bahwa pekerja ini sebetulnya adalah pekerjaan yang sebenarnya, adalah orang-orang yang katakan tidak punya peluang pekerjaan yang baik", ia mengungkapkan.
Tanpa status hukum yang jelas, PRT bekerja dalam kondisi rentan, tanpa perlindungan fisik maupun sosial, dan sering kali terjebak dalam sistem kerja sub-ordinat yang menyerupai sistem feodal.
"PRT itu mereka mengabdi tanpa perlindungan, karena negara belum hadir untuk melindungi mereka secara resmi", ujarnya.
Tadjudin juga menilai rendahnya perhatian DPR terhadap kelompok pekerja lapisan bawah menjadi salah satu alasan utama lambannya pembahasan RUU PPRT.
"Ini tidak menyangkut kepentingan DPR, makanya tidak dianggap penting. Padahal, ini menyangkut kehidupan dan perlindungan rakyat kecil", tegasnya.
Dukungan dari Pemerintah dan Wakil Presiden
Tadjudin menyatakan bahwa pengesahan RUU PPRT merupakan langkah awal untuk memformalkan profesi PRT dan memasukkannya ke dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan nasional.
"Harus ada undang-undangnya dulu. Baru setelah itu, mereka bisa mendapatkan jaminan sosial", katanya.
Ia juga membandingkan kondisi PRT dengan pengemudi ojek online yang sama-sama termasuk dalam kelompok pekerja sangat rentan, terutama saat pandemi COVID-19.
"Kasusnya hampir sama. Waktu pandemi COVID-19, banyak dari mereka kehilangan penghasilan tanpa perlindungan apa-apa dari pemerintah. Begitu juga PRT", jelasnya.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan dukungannya terhadap percepatan pengesahan RUU PPRT dan berharap undang-undang tersebut dapat memberikan keadilan bagi PRT.
"Ini (RUU PPRT) amanat bagi kita. Kemnaker tetap men-support dan berharap RUU ini dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan sosial kepada PRT yang adil serta perlakuan sama di depan hukum", ungkap Yassierli.
Dukungan juga datang dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki komitmen kuat untuk melindungi PRT.
"Karena RUU PPRT bukan hanya sekumpulan pasal, bukan hanya sekedar produk hukum, tapi lebih dari itu, ini adalah bentuk penghargaan, pelindungan, dan keadilan. Ini adalah cerminan bahwa negara juga hadir untuk para pekerja rumah tangga", ucap Gibran.
Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta pekerja.
Namun, mereka belum dilindungi secara khusus dalam sistem hukum ketenagakerjaan yang berlaku saat ini.
- Penulis :
- Aditya Yohan