
Pantau - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Dede Indra Permana Soediro menegaskan bahwa pelaksanaan izin dan pemberian prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) harus tetap dalam kontrol dan pengawasan negara.
Hal tersebut disampaikannya saat membacakan keterangan resmi DPR RI dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) di hadapan Mahkamah Konstitusi secara daring pada 28 Oktober 2025, dari Gedung Setjen DPR RI, Jakarta.
Menurut Dede, pengelolaan mineral dan batubara wajib dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabel, memperhatikan pelestarian lingkungan, menjalankan reklamasi, serta memberdayakan masyarakat.
"DPR berpandangan bahwa pelaksanaan izin dan pemberian prioritas WIUP dan WIUPK dilakukan tetap dalam kontrol dan pengawasan negara melalui sistem peninjauan elektronik yang terintegrasi dengan verifikasi lintas kementerian," ungkapnya.
DPR Nilai Permintaan Pemaknaan Ulang Tidak Relevan dan Timbulkan Ketidakpastian
Dari total 25 pasal yang diuji dalam UU Minerba, terdapat 13 pasal yang dimohonkan untuk dimaknai ulang oleh para pemohon.
Namun DPR RI menilai bahwa permintaan tersebut cenderung membentuk norma baru dan berpotensi mengurangi kepastian hukum, sehingga membuat norma menjadi kabur dan tidak relevan.
Terkait keberatan pemohon atas pemberian WIUP atau WIUPK kepada perguruan tinggi yang bekerja sama dengan badan usaha swasta, Dede menjelaskan bahwa kolaborasi ini bertujuan memperkuat sinergi antara akademisi dan industri dalam bidang riset dan inovasi.
"Perguruan tinggi bukanlah pihak yang secara langsung melakukan kegiatan usaha tambang, melainkan memperoleh manfaat melalui riset, transfer teknologi, dan peningkatan kualitas pendidikan," ia menegaskan.
Kerja sama tersebut diatur secara ketat dalam Pasal 25 ayat (4) UU Minerba yang mensyaratkan pelaporan hasil kerja sama, audit oleh pemerintah, kementerian teknis, serta Badan Pemeriksa Keuangan.
Dana hasil kerja sama wajib digunakan sepenuhnya untuk kegiatan penelitian dan peningkatan mutu pendidikan.
"Politik hukum nasional menempatkan riset dan inovasi sebagai bagian integral dalam pengelolaan sumber daya alam. Karena itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam kerja sama ini selaras dengan Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945," terang Dede.
Afirmasi Pendidikan Tinggi Lewat Kolaborasi Pertambangan
Dede juga menyinggung Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2025 yang mempertegas mekanisme pemberian prioritas sebagai bagian dari upaya peningkatan akses pendidikan tinggi dan mendorong kemandirian perguruan tinggi.
Badan usaha yang dapat bermitra dengan perguruan tinggi harus memiliki pengalaman di sektor pertambangan mineral atau batubara serta mendukung pengembangan pendidikan dan riset nasional.
Menanggapi permintaan pemohon yang ingin membatalkan frasa "badan usaha swasta", Dede menilai permintaan tersebut tidak lazim dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Permohonan itu tidak tepat karena justru membuat norma menjadi tidak utuh dan kabur," ujarnya.
DPR Minta MK Tolak Permohonan dan Tegaskan Afirmasi Tak Langgar Konstitusi
Dede kembali menegaskan pentingnya penguasaan negara atas sektor mineral dan batubara sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Menurutnya, prinsip tersebut bertujuan agar sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"DPR RI berkesimpulan bahwa pemberian afirmasi dengan cara prioritas sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diuji tidak bertentangan dengan prinsip penguasaan negara terhadap sumber daya alam," ujarnya.
Dalam petitumnya, DPR RI meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk:
Menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan tidak dapat diterima;
Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
Menerima seluruh keterangan DPR RI;
Menyatakan bahwa pasal-pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf










