
Pantau - Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai bahwa usulan penambahan insentif atau gaji bagi kepala daerah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukan merupakan solusi ideal untuk mencegah praktik korupsi di daerah.
Khozin menjelaskan bahwa mekanisme pemberian insentif berdasarkan persentase PAD sebenarnya sudah diterapkan sejak tahun 2000, sehingga langkah tersebut bukan hal baru.
“Pencegahan korupsi di daerah harus dilakukan dengan sistem, bukan pendekatan personal pejabat. Membangun sistem antikorupsi di daerah itu by law, bukan by person,” tegasnya.
Fokus pada Pembenahan Sistem
Menurut Khozin, upaya pencegahan korupsi harus dimulai dari pembenahan sistem tata kelola pemerintahan, bukan hanya melalui pemberian insentif finansial kepada kepala daerah.
Ia menilai momentum revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dan Undang-Undang Pemilu dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem dari sisi hulu, termasuk tata kelola keuangan daerah dan mekanisme pengawasan.
“Momentum perubahan UU Pilkada dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan perbaikan sistem yang dimulai dari sisi hulu,” ujarnya.
Insentif Kepala Daerah Sudah Diatur Sejak 2000
Khozin menegaskan bahwa dasar hukum pemberian dana insentif kepala daerah telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) PP tersebut dijelaskan bahwa kepala daerah berhak memperoleh insentif berdasarkan capaian PAD di wilayahnya masing-masing.
“Filosofi dana insentif kepada kepala daerah merupakan penghargaan sekaligus stimulus untuk meningkatkan PAD dengan tujuan utama melahirkan kemandirian fiskal di daerah,” tutur Khozin.
Namun, ia menegaskan bahwa peningkatan gaji atau insentif bukanlah kunci utama pencegahan korupsi. Solusi yang lebih mendasar adalah pembangunan sistem pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum agar potensi penyimpangan dapat ditekan secara berkelanjutan.
- Penulis :
- Aditya Yohan








