
Pantau - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, memimpin konferensi pers di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, hari ini untuk memberikan klarifikasi resmi mengenai berbagai kabar yang beredar seputar pengesahan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) yang baru. Komisi III secara tegas menekankan bahwa KUHAP yang baru justru mengedepankan prinsip kehati-hatian, penghormatan hak asasi manusia, dan kesetaraan di hadapan hukum.
Habiburokhman menyampaikan bahwa terdapat kesalahpahaman mendasar mengenai sejumlah pasal yang menjadi sorotan publik.
Isu Penangkapan dan Upaya Paksa
Terkait kekhawatiran Pasal 5 yang disebut-sebut memungkinkan penyelidik melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana, Komisi III memberikan bantahan keras. "Ini tidak benar. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam pasal 5 dilakukan bukan dalam tahap penyelidikan, namun dalam tahap penyidikan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyidik," ujar Habiburokhman.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa upaya paksa dalam KUHAP yang baru justru diatur lebih ketat daripada KUHAP 1981 yang lama:
- Izin Hakim: Penggeledahan (Pasal 113), Penyitaan (Pasal 119), dan Pemblokiran (Pasal 140) harus dilakukan dengan izin ketua pengadilan.
- Keadaan Mendesak: Meskipun dimungkinkan dalam keadaan mendesak, seperti kondisi geografis atau tertangkap tangan, upaya paksa tersebut tetap harus meminta persetujuan hakim dalam waktu 2x24 jam. Hakim memiliki wewenang untuk menilai dan memberikan persetujuan atau penolakan (Pasal 113 ayat (5)).
- Penyadapan: Khusus mengenai Penyadapan (Pasal 136), aturannya akan diatur dalam undang-undang tersendiri secara lebih ketat, dan KUHAP hanya berfungsi sebagai lex generali.
Pembatasan Metode Investigasi Khusus
Menanggapi kekhawatiran tentang Pasal 16 yang dinilai berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) karena memasukkan metode undercover buy dan controlled delivery untuk semua tindak pidana, Habiburokhman menjelaskan bahwa ketentuan tersebut telah dibatasi. "Kami tegaskan, itu tidak benar. Metode penyelidikan memang diperluas, namun hanya untuk investigasi khusus, bukan untuk semua tindak pidana. Dalam penjelasan Pasal 16 RUU KUHAP menyebutkan bahwa ketentuan tersebut merupakan teknik investigasi khusus yang diatur dalam Undang-Undang, antara lain, pada Undang-Undang mengenai narkotika dan psikotropika," katanya.
Restorative Justice dan Batasan Paksaan
Mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice), yang diatur dalam Pasal 74A dan 79, juga menjadi sorotan karena dinilai bisa membuka celah pemerasan di tahap penyelidikan. "Mekanisme Keadilan Restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan," kata Habiburokhman.
Ia menambahkan bahwa KUHAP yang baru justru memberikan batasan yang ketat dan harus dilakukan tanpa adanya paksaan, intimidasi, tekanan, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan, dan tindakan yang merendahkan kemanusiaan (Pasal 81). Seluruh pelaksanaannya juga diawasi dan dimintakan penetapan pengadilan.
Kesetaraan dan Perlindungan Kelompok Rentan Disabilitas
Dua isu sentral yang menyangkut penyandang disabilitas yakni pasal 99 tentang perpanjangan durasi penahanan dan Pasal 137A tentang penghukuman tanpa batas waktu, juga dibantah secara tegas oleh Komisi III. Mengenai Pasal 99, Habiburokhman memastikan bahwa “RUU KUHAP tidak memuat ketentuan yang memberikan perpanjangan durasi penahanan berdasarkan kondisi kesehatan, baik gangguan fisik maupun mental, dari tersangka atau terdakwa. Rumusan demikian secara sadar tidak diadopsi oleh Pemerintah karena bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia dan asas nondiskriminasi.”
Pemerintah, melalui RUU KUHAP, menjunjung asas equality before the law dengan memberikan perlakuan yang sama bagi seluruh tersangka dan terdakwa. Hal ini juga menghapus praktik diskriminatif perpanjangan penahanan karena kondisi "gangguan fisik atau mental" yang sebelumnya ada di KUHAP 1981.
Terkait Pasal 137A yang disebut memungkinkan "penghukuman tanpa batas waktu," Komisi III menegaskan bahwa informasi tersebut tidak benar. "Tidak ada pengaturan soal penghukuman tanpa batas waktu," tegas Habiburokhman.
Adapun dalam Pasal 146 KUHAP, Hakim dapat mengenakan Tindakan dan Putusan Pemaafan (Bukan pemidanaan) kepada Penyandang Disabilitas. Tindakan yang diberikan berupa rehabilitasi dan perawatan. KUHAP (Pasal 145) memastikan bahwa Penyandang Disabilitas dipenuhi haknya, diberikan pelayanan dan sarana yang sesuai, dan diperlakukan setara.
Habiburokhman menyimpulkan bahwa KUHAP yang baru mencerminkan komitmen Pemerintah untuk menghadirkan hukum acara pidana yang lebih humanis, inklusif, dan berkeadilan, sesuai standar konstitusional dan instrumen hak asasi manusia.
- Penulis :
- Shila Glorya







