Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Mahkamah Konstitusi Tolak Usulan Samakan Masa Jabatan Kapolri dengan Presiden karena Dinilai Bertentangan dengan UUD 1945

Oleh Arian Mesa
SHARE   :

Mahkamah Konstitusi Tolak Usulan Samakan Masa Jabatan Kapolri dengan Presiden karena Dinilai Bertentangan dengan UUD 1945
Foto: Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin sidang pembacaan putusan uji materiil UU Polri di Gedung MK, Jakarta, Kamis 13/11/2025 (sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Pantau - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menginginkan agar masa jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) disamakan dengan masa jabatan Presiden dan menteri kabinet.

Permohonan Diajukan Tiga Mahasiswa

Permohonan uji materi ini diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra.

Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian beserta penjelasannya yang menyebutkan, "Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya."

Para pemohon menilai bahwa alasan pemberhentian Kapolri tidak diatur secara jelas dalam undang-undang tersebut.

Mereka meminta agar aturan mengenai alasan pemberhentian Kapolri dijelaskan secara eksplisit serta masa jabatan Kapolri disamakan dengan masa jabatan anggota kabinet.

MK Tegaskan Kapolri Bukan Bagian Kabinet

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo menyatakan dalam amar putusan Nomor 19/PUU-XXIII/2025 bahwa permohonan tersebut ditolak seluruhnya.

Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa permohonan didasarkan pada anggapan bahwa jabatan Kapolri setara dengan menteri, yang menurut Mahkamah merupakan kekeliruan.

Ia mengungkapkan, "Pembentuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 justru memperjelas bahwa Kapolri merupakan perwira tinggi aktif."

Dalam pembahasan undang-undang, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa pernah mengusulkan agar frasa "setingkat menteri" dimasukkan untuk jabatan Kapolri, namun usulan tersebut tidak disepakati oleh pembentuk undang-undang.

Mahkamah menilai bahwa jika jabatan Kapolri diberi kedudukan setara dengan menteri, maka akan membuka celah dominasi kepentingan politik Presiden dalam proses pengangkatan Kapolri.

Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Polri merupakan alat negara, bukan bagian dari kabinet.

Menurut Mahkamah, Polri harus mengedepankan pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, serta penegakan hukum di atas kepentingan golongan, termasuk kepentingan politik Presiden.

Arsul menegaskan, "Menjadikan Kapolri sebagai anggota kabinet akan mereduksi peran Polri sebagai alat negara."

Mahkamah juga menyatakan bahwa permohonan para pemohon berpotensi menggeser posisi jabatan Kapolri menjadi bagian dari kabinet, yang tidak sejalan dengan fungsi profesional Polri.

Jabatan Kapolri menurut Mahkamah adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas waktu, tetapi tidak bersifat periodik dan tidak otomatis berakhir bersama dengan masa jabatan Presiden.

Kapolri dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh Presiden berdasarkan evaluasi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Arsul menyatakan, "Jika Mahkamah mengikuti permintaan pemohon, hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian dan pemberhentian jabatan Kapolri."

Mahkamah menyimpulkan bahwa dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Penulis :
Arian Mesa