Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Anggota DPR Soroti 720 Hari Keterlambatan Putusan MA: "Keadilan yang Tertunda adalah Keadilan yang Disangkal"

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Anggota DPR Soroti 720 Hari Keterlambatan Putusan MA: "Keadilan yang Tertunda adalah Keadilan yang Disangkal"
Foto: Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan saat mengikuti RDP Komisi III bersama Wakapolri, Plt. Wakil Jaksa Agung, dan Plt. Kepala Badan Pengawas MA di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 18/11/2025 (sumber: DPR RI)

Pantau - Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Pandjaitan, melontarkan kritik keras terhadap Mahkamah Agung (MA) atas keterlambatan penyelesaian perkara yang dinilai ekstrem, bahkan mencapai 720 hari.

Hinca menyampaikan kritik tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI yang digelar bersama Wakapolri, Plt. Wakil Jaksa Agung, dan Plt. Kepala Badan Pengawas MA di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 18 November 2025.

Ia menekankan bahwa keterlambatan tersebut telah mencederai prinsip keadilan, dengan menyatakan "Justice delayed is justice denied", yang berarti "Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang disangkal."

Menurutnya, lambannya proses hukum di MA melanggar hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum.

Perkara Mandek dan Risiko "Kejahatan Sempurna"

Hinca menyoroti bahwa banyak perkara, termasuk Peninjauan Kembali (PK), tidak kunjung diputus dan berisiko menjadi "kejahatan sempurna" jika tidak diawasi secara ketat.

"Ini bukan sekadar telat memutus. Ini sudah merampas hak orang untuk memperoleh keadilan. Ada perkara yang tidak pernah sampai ke meja hakim. Ini persoalan serius," ungkapnya.

Ia mengungkapkan adanya temuan bahwa sejumlah perkara hanya berputar di tingkat administrasi, tanpa kejelasan di mana posisi berkas tersebut berada.

Hinca menyatakan bahwa publik perlu mengetahui dengan jelas apakah perkara berhenti di Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), atau Mahkamah Agung (MA).

"Kalau perkara berhenti, kita harus tahu berhentinya di mana. Kalau tidak, siapa pun bisa menyembunyikan berkas," ia mengungkapkan.

Ia juga memperingatkan bahwa ketertutupan informasi memperbesar kemungkinan terjadinya manipulasi perkara.

Eksekusi Putusan dan Reformasi Institusional

Selain masalah di MA, Hinca menyoroti lambannya eksekusi putusan inkrah oleh Kejaksaan yang disebabkan oleh perpindahan jaksa atau kelalaian administrasi.

Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan terpidana mengalami keterlambatan dalam menjalani masa pidana.

"Kalau jaksa pindah lalu eksekusi terlambat, bagaimana nasib terpidana? ‘Kilometer nol’ pidananya tidak berjalan. Ini pelanggaran serius," tegasnya.

Ia juga menanyakan perkembangan kasus besar seperti buronan Reza Halim, serta kasus dugaan jual-beli perkara Rikat Jarot yang dinilai telah hilang dari radar publik.

Hinca menegaskan bahwa reformasi hukum tidak cukup hanya dengan merevisi KUHAP.

Menurutnya, pembenahan menyeluruh juga harus dilakukan di tubuh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian.

"Tak boleh ada perkara hilang atau disembunyikan. Keadilan harus dipastikan berjalan," tutupnya.

Penulis :
Shila Glorya