Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Ketua Umum Golkar Dukung Proses Hukum Uji Materi UU MD3 oleh Mahasiswa sebagai Wujud Demokrasi

Oleh Leon Weldrick
SHARE   :

Ketua Umum Golkar Dukung Proses Hukum Uji Materi UU MD3 oleh Mahasiswa sebagai Wujud Demokrasi
Foto: Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menjawab pertanyaan wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 20/11/2025 (sumber: ANTARA/Fathur Rochman)

Pantau - Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa proses uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi merupakan langkah hukum yang sah dan harus dihargai.

Ia menegaskan bahwa gugatan tersebut adalah bagian dari mekanisme judicial review yang sah dalam sistem hukum Indonesia dan mencerminkan dinamika demokrasi yang sehat.

Menurutnya, aspirasi masyarakat, termasuk melalui pengajuan gugatan hukum, adalah hak setiap warga negara selama disampaikan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku.

"Indonesia adalah negara demokrasi, sehingga setiap warga negara berhak menyampaikan aspirasi, namun harus melalui mekanisme dan tata kerja yang baik sesuai aturan yang berlaku," ungkapnya.

Mahasiswa Gugat Pasal Pengusulan Pemberhentian Anggota DPR

Diketahui, para pemohon uji materi adalah lima orang mahasiswa, yaitu Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Kelima mahasiswa tersebut mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3.

Pasal tersebut mengatur bahwa pemberhentian antarwaktu anggota DPR hanya dapat dilakukan jika “diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Para pemohon menilai bahwa ketentuan ini memberikan kekuasaan berlebih kepada partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, tanpa mempertimbangkan aspirasi dari konstituen.

Mereka menyoroti praktik pemberhentian yang dinilai tidak transparan, serta keberadaan anggota DPR yang kehilangan legitimasi dari pemilih namun tetap dipertahankan oleh partai.

Dalam pandangan para pemohon, hal tersebut mencerminkan lemahnya kontrol rakyat terhadap wakilnya setelah pemilu berlangsung.

"Permohonan ini bukan berangkat dari kebencian terhadap DPR atau partai politik, tetapi sebagai bentuk kepedulian kami untuk memperbaiki sistem," kata salah satu pemohon dalam berkas yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Para pemohon menyatakan bahwa tidak adanya mekanisme pemberhentian oleh konstituen menyebabkan rakyat hanya berperan secara formal dalam pemilu tanpa daya tawar setelahnya.

Hal ini, menurut mereka, mengakibatkan potensi pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara, khususnya dalam aspek partisipasi dan pengawasan terhadap wakil rakyat.

Permohonan Penafsiran Konstitusional

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi “diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Mereka berargumen bahwa penafsiran tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi, seperti kedaulatan rakyat, partisipasi aktif, kesetaraan dalam pemerintahan, dan persamaan di hadapan hukum.

Saat ini, proses uji materi masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi, dan belum ada keputusan final yang dikeluarkan.

Bahlil Lahadalia berharap seluruh pihak dapat menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan menjadikannya sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat.

Penulis :
Leon Weldrick