
Pantau - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menekankan pentingnya keberadaan Pedoman Teknis Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme sebagai acuan nasional dalam memperkuat sistem perlindungan anak dari bahaya ideologi ekstrem.
Pedoman ini dirancang untuk mendukung upaya perlindungan anak melalui pendekatan kolaboratif antar kementerian dan lembaga, dengan cakupan pencegahan, penanganan, rehabilitasi, reintegrasi, serta monitoring dan evaluasi.
Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dalam Kondisi Khusus KemenPPPA, Susanti, menyampaikan bahwa anak dan remaja kini menjadi sasaran rentan aksi terorisme, terutama melalui ruang digital.
“Upaya perlindungan anak dari jaringan terorisme tertuang dalam Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak. Edukasi penguatan ideologi dan rasa nasionalisme anak perlu ditekankan melalui layanan konseling, rehabilitasi, pendampingan, dan pengasuhan,” ungkapnya.
Ancaman Digital Meningkat, Keluarga dan Lembaga Diminta Perkuat Daya Tahan Anak
Susanti menambahkan bahwa pengasuhan anak harus menanamkan nilai-nilai empati, tanggung jawab, dan kemandirian untuk memperkuat daya tahan terhadap radikalisme dan ekstremisme kekerasan.
Penanganan anak korban jaringan terorisme juga dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPPA) serta dinas terkait di daerah.
Selain itu, pencegahan juga difasilitasi melalui 302 unit Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Perwakilan Densus 88 Anti Teror Polri, Kombes Pol. Mohammad Dofir, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024 terjadi 19.416 aksi pencegahan terorisme—lonjakan signifikan dibandingkan 1.536 aksi pada 2022.
“Meskipun demikian, Standar Operasional Prosedur (SOP) Kontra Radikalisasi Terhadap Anak tetap menjadi dasar dalam penanganan anak korban jaringan terorisme. Proses asesmen, upaya kolektif, monitoring, dan evaluasi tentu dilakukan dengan berkoordinasi lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait,” jelasnya.
Upaya Digital dan Deradikalisasi Anak Terus Diperkuat
Perwakilan Kominfo/Komdigi, Tuaman Manurung, melaporkan bahwa dari Oktober 2024 hingga November 2025, tercatat 3.257.039 konten negatif tersebar di internet dan media sosial, dengan 8.305 di antaranya mengandung unsur terorisme dan radikalisme.
Ia menegaskan pentingnya keterlibatan orang tua, wali, dan masyarakat dalam mendampingi anak saat mengakses ruang digital.
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengawasan terhadap anak di ranah digital.
Sementara itu, perwakilan BNPT, Bara Lintar Sanggabuana, menyampaikan bahwa deradikalisasi anak merupakan proses terpadu dan berkesinambungan melalui pembinaan wawasan kebangsaan dan keagamaan, dengan orientasi pada kepentingan terbaik anak.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menegaskan bahwa anak yang terlibat jaringan terorisme bukanlah pelaku, melainkan korban.
"Anak bukan pelaku, tetapi korban dari ideologi dan jaringan terorisme. Keterlibatan anak dalam ekstremisme sering disebabkan oleh doktrin keluarga maupun jaringan, ekspos kekerasan sejak dini, serta kurangnya pengawasan dan akses pendidikan yang inklusif. Anak yang terlibat memerlukan pendampingan hukum dan psikososial, bukan hukuman," ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran LSM dalam memberikan edukasi, menciptakan ruang dialog, memperkuat empati, serta memastikan penanganan, pemberdayaan, dan penerimaan anak penyintas jaringan terorisme oleh keluarga dan masyarakat sekitar.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Tria Dianti







