
Pantau - Komisi VII DPR RI mendorong penerapan rekayasa teknologi dalam produksi garam nasional guna mengatasi kendala cuaca dan memenuhi spesifikasi teknis garam industri.
Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menyampaikan hal tersebut saat melakukan kunjungan kerja di Kota Cilegon, Banten, pada Jumat.
Menurut Lamhot, Indonesia sebenarnya memiliki garis pantai yang sangat panjang, namun industri petrokimia nasional masih bergantung pada impor bahan baku garam dari Australia dan Amerika Serikat.
Garam Industri Masih Diimpor
"Kita memang mengalami tantangan untuk memproduksi garam industri, terutama cuaca yang tidak bisa diatur. Tapi dengan teknologi sekarang seharusnya bisa melakukan sebuah rekayasa produksi," ungkapnya.
Lamhot menjelaskan, tingginya angka impor disebabkan oleh disparitas biaya produksi antara Indonesia dan negara pengimpor.
Garam dari negara seperti Australia umumnya berasal dari tambang garam (rock salt), yang seringkali merupakan produk sampingan dari proses penambangan lain sehingga harganya menjadi sangat kompetitif.
Sebaliknya, Indonesia masih mengandalkan metode pengeringan air laut yang sangat bergantung pada iklim dan cuaca, membuat proses produksi tidak stabil dan kurang menarik bagi investasi industri.
Kondisi ini menyebabkan banyak perusahaan enggan berinvestasi di sektor produksi garam industri karena dinilai kurang menguntungkan secara ekonomi.
Lamhot menegaskan bahwa intervensi teknologi merupakan kebutuhan mendesak agar industri nasional tidak terus bergantung pada pasokan dari luar negeri.
"Seharusnya tidak masalah untuk memproduksi garam industri. Ini yang mau kita dorong, agar tidak mempengaruhi daya saing industri petrokimia kita," tegasnya.
Industri Petrokimia Perlu Kepastian Bahan Baku
Vice Plant Director PT Asahimas Chemical, Agus Prasetyo, mengakui bahwa perusahaannya masih sangat bergantung pada garam impor.
"Semua itu masih impor, karena garam lokal itu masih belum memenuhi spek dari garam industri. Kalau garam lokal untuk konsumsi itu masih bisa, tapi untuk industri perlu perbaikan," ia mengungkapkan.
Agus menjelaskan bahwa kebutuhan garam perusahaan mencapai 2,2 juta ton per tahun dan seluruhnya didatangkan dari luar negeri.
Ia berharap pemerintah menjaga keseimbangan antara dukungan terhadap industri garam lokal dengan relaksasi kebijakan impor bagi industri pengguna.
"Tujuannya adalah menjaga keberlangsungan operasional pabrik di tengah persaingan global," jelas Agus.
Ia juga menambahkan bahwa kunjungan Komisi VII DPR RI ke lokasi industri sangat bermanfaat.
"Kunjungan Komisi VII ini sangat bermanfaat agar kebijakan pemerintah dapat mendukung usaha petrokimia, terutama terkait kepastian bahan baku," ujarnya.
- Penulis :
- Arian Mesa








