
Pantau - Komnas HAM RI mencatat 60 kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua selama periode 1 Januari hingga 28 November 2025, yang mencakup pelanggaran hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI, Saurlin Siagian, menyatakan bahwa angka tersebut belum menggambarkan keseluruhan kasus yang terjadi di Papua.
"Jumlah ini hanya berdasarkan laporan dan pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, masih mungkin bertambah karena Desember belum dihitung," ungkapnya.
Dari total 60 kasus, 20 di antaranya mendapat perhatian nasional karena menyangkut isu-isu strategis dan menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung.
Kasus Kematian Ibu Hamil hingga Sengketa Tanah Adat
Salah satu kasus yang paling disorot adalah kematian Irene Sokoy beserta janin dalam kandungannya karena dugaan kelalaian pelayanan medis di sebuah rumah sakit di Jayapura pada 16–17 November 2025.
Komnas HAM juga menerima laporan tentang perampasan wilayah adat milik Suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei yang terdiri dari berbagai marga, akibat proyek strategis nasional pengembangan pangan dan energi seluas dua juta hektar di Kabupaten Merauke.
Wilayah yang terdampak proyek ini mencakup Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind Kurik, dan Ilwayab.
Laporan lain berkaitan dengan kerusakan lingkungan di sepanjang Daerah Aliran Sungai Kampung Mantembu dan Kampung Yapan di Distrik Anataurel, Kabupaten Kepulauan Yapen.
Selain itu, masyarakat adat Hedam Ayapo menuntut ganti rugi tanah ulayat kepada Universitas Cenderawasih terkait pembebasan lahan untuk pembangunan Rumah Sakit Vertikal di Kota Jayapura.
Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat oleh beberapa perusahaan seperti PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama juga dilaporkan merusak lingkungan.
Kasus sengketa ganti rugi atas tanah adat untuk pembangunan tahap dua Bandara Mopah Merauke juga masih berlangsung sejak tahun 2010.
PT Inti Kebun Sejahtera juga dilaporkan melakukan penyerobotan atas tanah adat marga Klagilit, Suku Moi, di Kabupaten Sorong.
Kekerasan, Penembakan, dan Diskriminasi
Komnas HAM mencatat dugaan pengabaian oleh Pemerintah Provinsi Papua atas ketimpangan pendapatan antara sopir angkutan kota konvensional dan pengemudi online seperti Maxim.
Unjuk rasa terkait pemindahan tahanan kasus makar di Sorong dan Manokwari yang berujung rusuh juga menelan korban jiwa, termasuk penembakan terhadap Mikael Welerubun dan kematian seorang tahanan bernama AAS.
Bripka Marsidon Debataraja tewas ditembak di RSUD Wamena pada 28 Mei 2025, diduga dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata.
Operasi TNI di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, Intan Jaya, pada 15 Oktober 2025, menyebabkan 11 warga sipil meninggal dunia.
Kantor Redaksi Jubi juga menjadi sasaran teror bom molotov pada 16 Oktober 2024.
Iptu Samuel Marbun dilaporkan hilang saat melakukan pengejaran terhadap anggota kelompok kriminal bersenjata di wilayah Polres Teluk Bintuni.
Kasus dugaan pembunuhan terhadap Kesya Lestaluhuu di Saoka, Sorong, yang melibatkan anggota TNI AL terjadi pada 12 Januari 2025.
Dugaan penyiksaan yang menewaskan Abral Wandikbo oleh aparat TNI di Yuguru, Distrik Mebarok, Nduga, disertai pengerahan besar-besaran pasukan, juga menjadi perhatian.
Penembakan terhadap warga sipil di Asmat pada 27 September 2025 juga diduga melibatkan anggota Satgas TNI 123/Rajawali.
Komnas HAM juga menerima aduan diskriminasi terhadap Merince Kogoya, perwakilan Miss Indonesia dari Papua Pegunungan, oleh pihak penyelenggara.
Laporan lainnya mencakup dugaan penyiksaan terhadap anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) oleh Satgas Pamtas TNI AL di Yahukimo pada 12–13 Juli 2025.
Kekerasan terhadap guru dan tenaga kesehatan di Distrik Anggruk, Yahukimo, terjadi pada 21–22 Maret 2025.
Komnas HAM mencatat pula penyerangan terhadap pendulang emas di Yahukimo pada 6–9 April 2025 yang menewaskan 16 orang.
- Penulis :
- Leon Weldrick







