
Pantau - Anggota Komisi V DPR RI, Edi Purwanto, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan akhir dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait sengketa lahan transmigrasi di Desa Gambut Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi.
“Minggu depan mereka akan sidang akhir penentuan sikap, mudah-mudahan mereka membatalkan, tapi jika mereka tetap bersikukuh maka Kementerian akan memberikan bantuan hukum pada para transmigrasi untuk mendapatkan haknya,” ujar Edi, Rabu.
Dua Kementerian Duduk Bersama, Jalur Hukum Jadi Opsi Terakhir
Perkembangan sengketa ini disampaikan oleh Menteri Transmigrasi, Iftitah Sulaiman Suryanagara, melalui pesan WhatsApp kepada Edi Purwanto.
Dua kementerian, yakni ATR/BPN dan Kementerian Transmigrasi, telah duduk bersama membahas penyelesaian konflik lahan di SP4 Gambut Jaya.
Dalam pembahasan tersebut, pihak ATR/BPN tetap bersikukuh bahwa satu-satunya jalan penyelesaian sesuai regulasi adalah jalur hukum, sebab Sertifikat Hak Milik (SHM) yang telah berusia lebih dari lima tahun hanya bisa dibatalkan melalui putusan pengadilan.
Sementara itu, Kementerian Transmigrasi terus berupaya meyakinkan ATR/BPN agar membatalkan SHM yang disengketakan.
Salah satu langkah konkret adalah menghadirkan mantan Bupati Muaro Jambi, Burhannudin Mahir, sebagai saksi yang memperkuat posisi para transmigran.
“Jadi artinya, upaya Pak Menteri luar biasa, sudah memanggil ATR/BPN, tapi ada regulasi, kalau memang tidak bisa, terakhir ya jalur hukum. Kita dukung untuk mengembalikan hak-hak warga Gambut Jaya,” kata Edi.
Lahan Dijanjikan, Tapi Tidak Pernah Diberikan
Sengketa lahan di Gambut Jaya bermula dari program transmigrasi tahun 2009 di Satuan Pemukiman 4 (SP4) berdasarkan SK Bupati Muaro Jambi No. 533 Tahun 2009.
Program ini menempatkan 200 kepala keluarga (KK), terdiri dari 100 KK lokal asal Muaro Jambi dan 100 KK pendatang dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, hasil kerja sama antar daerah.
Setiap KK dijanjikan lahan seluas 2 hektare, yang terdiri dari lahan permukiman dan lahan usaha.
Namun dalam pelaksanaannya, peserta transmigrasi hanya menerima lahan permukiman sekitar 0,06 hektare per KK.
Lahan usaha yang dijanjikan tidak pernah diberikan secara penuh.
Masalah ini bermula karena lahan pencadangan transmigrasi SP4 sudah lebih dahulu digarap oleh pihak lain secara ilegal sejak tahun 1996.
Lebih lanjut, menjelang kedatangan transmigran pada 2008, BPN Kabupaten Muaro Jambi menerbitkan 105 SHM individual kepada para penggarap liar melalui program redistribusi tanah.
Kondisi inilah yang kini menjadi inti dari sengketa, dan terus diperjuangkan oleh pemerintah dan DPR agar hak para transmigran dapat dikembalikan sesuai yang dijanjikan.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf





