Pantau Flash
HOME  ⁄  Pantau Ramadhan

Begini Perbedaan Metode Penentuan Hilal antara NU dan Muhammadiyah

Oleh Latisha Asharani
SHARE   :

Begini Perbedaan Metode Penentuan Hilal antara NU dan Muhammadiyah
Foto: Ilustrasi (Freepik)

Pantau - Hilal memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam, terutama dalam menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah. Hilal adalah bulan sabit muda yang menjadi penanda pergantian bulan, termasuk bulan-bulan yang memiliki makna ibadah seperti Ramadan dan Syawal. Oleh karena itu, umat Islam selalu menantikan hasil penetapan hilal untuk menentukan waktu ibadah mereka. Perbedaan pendapat mengenai hilal bukanlah hal baru di Indonesia. Dua organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sering kali memiliki pandangan berbeda dalam menentukan awal bulan Hijriah. Perbedaan ini muncul karena perbedaan metode yang digunakan dalam menentukan hilal. NU mengandalkan metode rukyatul hilal (pengamatan langsung) yang didukung oleh Hisab Hakiki Imkan Rukyat, sementara Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal tanpa pengamatan langsung. 

Dilansir NU Online, berikut adalah perbedaan metode penentuan hilal yang digunakan oleh kedua organisasi ini.

NU dengan Metode Rukyatul Hilal

NU menggunakan metode rukyatul hilal, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung terhadap hilal setelah terjadi ijtima' (konjungsi bulan dan matahari dalam satu bujur yang sama). Jika hilal terlihat, maka keesokan harinya ditetapkan sebagai awal bulan baru dalam kalender Hijriah. Jika hilal tidak terlihat, maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Baca juga: Kemenag Gelar Pemantauan Hilal Awal Ramadan 1446 H di 125 Titik

NU juga menggunakan metode hisab sebagai alat bantu, tetapi bukan sebagai dasar utama dalam penentuan awal bulan Hijriah. Metode yang digunakan adalah Hisab Hakiki Imkan Rukyat, yang menetapkan syarat ketinggian hilal minimal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Kriteria ini sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Keputusan NU dalam menetapkan awal bulan Hijriah berlandaskan pada dalil syariat yang menyebutkan bahwa penetapan bulan baru harus berdasarkan rukyatul hilal atau penyempurnaan bulan menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat. Hal ini didukung oleh pandangan para ulama klasik, termasuk Taqiyuddin As-Subki, yang menyatakan bahwa penetapan awal bulan hanya bisa dilakukan melalui rukyah atau istikmal (menggenapkan bulan menjadi 30 hari).

Muhammadiyah dan Hisab Hakiki Wujudul Hilal

Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak menggunakan rukyatul hilal dalam penentuan awal bulan Hijriah. Muhammadiyah mengandalkan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, yaitu perhitungan astronomis untuk menentukan posisi hilal. Jika hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam, meskipun hanya setinggi 0,1 derajat, maka keesokan harinya dianggap sebagai awal bulan baru.

Metode ini memberikan kepastian dalam menentukan awal bulan tanpa harus bergantung pada kondisi cuaca atau kemampuan pengamat dalam melihat hilal secara langsung. Muhammadiyah berpegang pada prinsip bahwa keberadaan hilal sudah cukup untuk menetapkan awal bulan, meskipun tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Keputusan ini didasarkan pada keyakinan bahwa perhitungan astronomi modern telah cukup akurat untuk menentukan keberadaan hilal.

Baca juga: Puasa Ramadan dan Manfaatnya untuk Menurunkan Berat Badan

Menurut Pedoman Hisab Muhammadiyah, awal bulan Hijriah ditetapkan apabila telah terjadi ijtima', ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam, hilal sudah berada di atas ufuk. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka bulan berjalan digenapkan menjadi 30 hari.

Perbedaan Pemahaman Hadits tentang Hilal

Perbedaan metode penentuan hilal antara NU dan Muhammadiyah juga berakar dari perbedaan dalam memahami hadits Rasulullah saw:

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari." (HR Al-Baihaqi)

NU memahami hadits ini secara harfiah, yaitu bahwa melihat hilal secara langsung adalah syarat utama dalam penentuan awal bulan. Oleh karena itu, metode rukyatul hilal tetap menjadi pedoman utama NU dalam menetapkan awal bulan Hijriah.

Sebaliknya, Muhammadiyah menafsirkan hadits ini dengan pendekatan rasional. Mereka menganggap bahwa "melihat" dalam konteks hadits tersebut tidak harus dengan mata kepala secara langsung, tetapi bisa melalui perhitungan astronomi yang akurat. Oleh karena itu, metode hisab dianggap sah dalam menentukan awal bulan Hijriah.

Baca juga: Jelang Ramadan, Ini 5 Cara Berbuka Puasa yang Sehat dan Tidak Berlebihan

Kesimpulan

Perbedaan metode penentuan hilal antara NU dan Muhammadiyah merupakan bagian dari dinamika dalam ilmu falak dan fiqih Islam. NU tetap mempertahankan rukyatul hilal sebagai metode utama dengan dukungan hisab sebagai alat bantu, sementara Muhammadiyah lebih memilih metode hisab untuk memastikan kepastian dalam penentuan awal bulan Hijriah.

Meskipun terdapat perbedaan, kedua metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan kepastian bagi umat Islam dalam menentukan waktu ibadah. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadi pemicu perpecahan, melainkan sebagai bentuk kekayaan intelektual dalam Islam yang dapat dihormati bersama. Dengan saling menghargai perbedaan, umat Islam dapat tetap bersatu dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.

Penulis :
Latisha Asharani
Editor :
Latisha Asharani