Pantau Flash
HOME  ⁄  Politik

Ketimbang Batas Maksimal Usia Capres, Arsul Sani Lebih Setuju Ubah Batas Minimal

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Ketimbang Batas Maksimal Usia Capres, Arsul Sani Lebih Setuju Ubah Batas Minimal
Foto: Anggota Komisi II DPR RI, Arsul Sani.

Pantau - Anggota Komisi II DPR Arsul Sani mempertanyakan, apa konstitusi yang dilanggar jika orang berusia lebih dari 65 tahun mengajukan diri sebagai capres.

"Sebetulnya kerugian konstitusionalnya apa sih, kan tidak ada," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/8/2023).

Menurutnya, gugatan terkait usia minimal capres dan cawapres menjadi 35 tahun lebih masuk akal. Sebab, perkembangan zaman dan teknologi informasi membutuhkan pemimpin muda yang memahami hal tersebut.

"Jadi menurut saya pertanyaan yang pertama adalah kerugian konstitusionalnya pemohon untuk kemudian dibatasi itu seperti apa, kan nggak ada juga. Tapi sebaliknya kalau orang menuntut katakanlah agar direndahkan itu kan memang hak konstitusional hak warga negara," ujar Arsul.

"Kemudian itu dikaitkan dengan katakanlah sosok Mas Gibran, kan yang memohon, juga ada Mas Emil Dardak juga kan kalau tidak salah. Jadi itu kan bisa kemudian semua orang muda mendapatkan benefit, tidak hanya orang tertentu," sambungnya.

Diketahui, gugatan terbaru seputar pemilihan umum kembali terlayang di MK. Kini gugatan itu meminta agar seseorang hanya boleh menjadi calon presiden (capres) sebanyak dua kali dan usia kandidat dibatasi maksimal 65 tahun.

Gugatan tersebut diajukan oleh seorang warga negara bernama Gulfino Guevarrato. Dia menunjuk Doni Tri Istiqomah dan empat orang lainnya sebagai kuasa hukum.

Ia mengajukan, gugatan uji materi atas pasal terkait syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden, yakni Pasal 169 huruf n dan q UU Pemilu.

Pasal 169 huruf n berbunyi: "belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama".

Dalam petitumnya, Gulfino meminta MK mengubah bunyi Pasal 169 huruf n itu menjadi: "belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dan belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama".

Doni Tri Istiqomah mengatakan, hak konstitusional kliennya untuk menjadi capres terhalang apabila seseorang bisa menjadi capres lebih dari dua kali.

Menurutnya, kandidat capres harus menggunakan etika politik dan sifat kenegarawanan, yakni tidak nyapres lagi apabila sudah dua kali kalah.

Namun, etika politik dan sifat kenegarawanan semacam itu tidak dilaksanakan oleh para kandidat karena belum diatur dalam UU Pemilu.

"Sehingga para calon dapat secara bebas menggunakan haknya berkali-kali untuk kembali mencalonkan dirinya sebagai calon presiden dan wakil presiden, walaupun setiap pemilu selalu kalah," kata Doni.

Penulis :
Aditya Andreas