Pantau Flash
HOME  ⁄  Politik

Booming Jumbo dan Ancaman AI: Siapa Lindungi Kreator Digital Kita?

Oleh Pantau Community
SHARE   :

Booming Jumbo dan Ancaman AI: Siapa Lindungi Kreator Digital Kita?
Foto: Booming film Jumbo tegaskan potensi industri kreatif digital Indonesia, namun ancaman AI butuh regulasi tegas demi lindungi hak kreator.

Pantau - Film animasi Jumbo yang dirilis pada 31 Maret 2025 mencatat sejarah dengan ditonton lebih dari 1,6 juta orang hanya dalam sembilan hari, mencerminkan potensi besar industri animasi dan ekonomi kreatif digital Indonesia.

Kesuksesan ini membuktikan bahwa karya digital lokal bisa menjadi komoditas ekspor non-ekstraktif yang sangat menjanjikan dan membuka peluang baru dalam penguatan budaya digital nasional.

Namun, keberhasilan seperti ini tidak akan berkelanjutan tanpa ekosistem yang sehat, khususnya dalam aspek perlindungan kekayaan intelektual digital atau Digital Intellectual Property (Digital IP).

Ancaman dari AI dan Minimnya Perlindungan Hukum

Fenomena global seperti Ghibli-fication, di mana gaya visual khas Studio Ghibli digunakan oleh AI seperti ChatGPT, Midjourney, dan DALL·E tanpa izin, menunjukkan bagaimana teknologi bisa menyalahgunakan estetika dan identitas kreatif secara masif.

Penggunaan karya berhak cipta sebagai data latih AI tanpa kompensasi atau persetujuan menimbulkan pelanggaran hak cipta serta ketimpangan besar antara teknologi dan kreator manusia.

Indonesia belum memiliki regulasi khusus untuk mengatur penggunaan karya digital oleh AI, termasuk dalam proses pelatihan data model.

Tanpa perlindungan hukum yang memadai, karya kreatif seperti visual, suara, dan tulisan berisiko menjadi bahan bakar gratis bagi teknologi generatif, tanpa imbal hasil kepada kreator aslinya.

Perpres No. 32 Tahun 2024 tentang tanggung jawab platform digital datang terlambat dan belum menjangkau isu kompleks seperti kolaborasi manusia-AI atau eksploitasi gaya artistik.

Kolaborasi Kreatif Butuh Perlindungan dan Pengakuan

Tantangan hukum semakin rumit saat muncul karya kolaboratif antara manusia dan AI, yang status hukumnya belum diatur secara tegas.

Beberapa negara mulai merespons: Amerika Serikat menolak hak cipta untuk karya sepenuhnya buatan AI, namun memberi ruang bagi kontribusi manusia, sementara Tiongkok lebih fleksibel dengan mengakui peran pengeditan dan penyusunan parameter.

Perbedaan pendekatan ini memperjelas pentingnya Indonesia segera menyusun regulasi yang responsif dan kontekstual terhadap perkembangan teknologi kreatif.

Dua langkah konkret sangat dibutuhkan: dari kreator dan dari negara.

Kreator harus memiliki hak untuk memilih apakah karyanya boleh digunakan sebagai data latih AI, melalui sistem opt-in atau opt-out, serta menerima royalti jika digunakan.

Negara juga perlu menetapkan batasan terhadap komersialisasi gaya artistik tertentu dan mengembangkan sistem watermark transparan untuk menandai karya hasil AI demi keterbukaan informasi.

Jaminan Masa Depan Kreativitas Lokal

Jika tidak diantisipasi sejak dini, kemajuan AI dapat menggerus hak-hak kreator lokal dan membahayakan kedaulatan budaya digital nasional.

Agar kesuksesan seperti Jumbo tidak menjadi pengecualian melainkan awal dari kebangkitan industri kreatif digital Indonesia, negara harus menjamin bahwa suara dan karya manusia tetap dihargai, dilindungi, dan diberdayakan.

Penulis :
Pantau Community

Terpopuler