
Pantau.com - Persaingan transportasi online di Indonesia kian ketat. Terutama dengan tersisanya dua pemain besar dalam industri yang memiliki pangsa cukup besar di Indonesia ini.
Menganggapi hal tersebut, Ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Harryadin Mahardika mengkhawatirkan perang harga yang terjadi saat ini justru akan mematikan salah satu pemain. Harry menilai, hal ini tercermin dari perang harga yang dinilai tak sehat karena dilakukan dengan indikasi-indikasi tertentu.
"Menurut saya secara obeservasi berdasarkan data atau perilaku persaingan dinamakan deep discounting bukan predatory pricing," ujarnya saat ditemui dalam sebuah diskusi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), di Restoran Beautika, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).
Sebab kata dia pemotongan harga yang dilakukan cukup besar. Bahkan mencapai 70 persen. Bahkan kata dia ada promo yang memberikan harga Rp1. "Karena yang dilakukan pemotongan harga sangat besar sekali, ada juga program bayar Rp1 atau diskon 70 persen. Itu membuat satu tarif di bawah," paparnya.
Baca juga: Konsumen Harus Tahu, Ini Dampak Buruk Perang Harga Transportasi Online
Kemudian faktor kedua, promosi memang suatu yang sah dilakukan namun tidak dalam jangka waktu terus menerus dan tanpa momentum tertentu. "Kedua sifatnya long term, kapan promosi dijalankan, kapan berakhir, di luar kelaziman promosi," ungkapnya.
"Karena biasanya yg normal ada waktunya atau momentum tertentu kalau sampai 5 bulan ini bukan promosi," imbuhnya.
Harry menambahkan, hal ini baru akan berhenti jika salah satu pemain 'menyerah' dengan persaingan ini. Jika itu terjadi maka yang dirugikan justru konsumen.
Menurutnya, hilangnya persaingan akibat monopoli pelaku usaha predator di industri transponasi online juga, akan lngsung memperlemah posisi tawar para mitranya dan konsumen.
Baca juga: Catat! Grab Uji Coba Denda Penumpang yang Cancel Orderan
"Saya memberi contoh di Singapura Pasca akuisisi Uber oleh Grab, tarif dinaikkan hingga 10-15 persen: dari Maret-Juli dan diprediksi meningkat drastis 20-30 persen hingga 2021. Di saat bersamaan, besaran insentif bagi mitra pengemudi juga ditemukan menurun secara signifikan pasca akuisisi," paparnya.
Untuk itu, Harryadin merekomendasikan pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memberikan pengawasan bagi persaingan di industri transportasi perkotaan, terutama transportasi online.
"Khususnya untuk menemukan indikasi-indikasi praktek predatory pricing yang mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. KPPU juga perlu mendukung upaya-upaya positif pemerintah untuk menjaga keberlanjutan industri transportasi online," pungkasnya.
- Penulis :
- Nani Suherni