
Pantau - Soedradjad Djiwandono, kakak ipar Presiden Terpilih Prabowo Subianto, mengungkapkan cerita menarik tentang sejarah pendirian Bank Negara Indonesia (BNI) 46.
Dalam pidatonya saat menerima Anugerah Wirakarya Adhitama FEB Universitas Indonesia (UI) pada Sabtu (12/11/2024), Profesor Djiwandono memaparkan bahwa BNI 46 awalnya direncanakan menjadi bank sentral Indonesia.
"Awalnya, BNI 46 dirancang untuk menjadi bank sentral Indonesia. Namun, hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag mengubah arah sejarah tersebut," ungkapnya.
Setelah Konferensi Meja Bundar pada 1949, pemerintah Indonesia menerima alih seluruh perusahaan milik Hindia Belanda, termasuk De Javasche Bank yang kemudian menjadi Bank Indonesia, beserta utang besar yang mencapai 10 miliar dolar AS.
Baca juga: Dukung Pemerataan, Wamenkeu Thomas Soroti Keadilan Pajak versi Ekonomi Syariah
"Indonesia, dalam upaya mendapatkan pengakuan kedaulatan, menerima semua aset dan utang perusahaan Hindia Belanda. Pengakuan kedaulatan bagi Indonesia jauh lebih penting meski beban utang sangat besar," jelasnya.
Soedradjad menjelaskan, meskipun utang yang ditanggung oleh Indonesia saat itu sangat besar, pemerintah tidak mempermasalahkannya. Korban jiwa yang jatuh dalam perjuangan kemerdekaan membuat pemerintah lebih fokus pada pengakuan kedaulatan.
Perubahan Status BNI 46
Rencana untuk menjadikan BNI 46 sebagai bank sentral akhirnya berubah setelah pengambilalihan De Javasche Bank.
Pada tahun 1950, De Javasche Bank resmi menjadi Bank Indonesia, bank sentral yang kita kenal saat ini, sementara BNI 46 beralih menjadi bank komersial, bersama Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan bank-bank lainnya.
"Sejarah Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dimulai pada tahun 1950, bukan 1945. Sedangkan BNI 46 menjalankan perannya sebagai bank komersial," pungkas Soedradjad.
Baca juga: Gerindra jadi Partai Paling Transparan Kelola Keuangan Berkat 'Tangan Dingin' Thomas Djiwandono
- Penulis :
- Aditya Andreas
- Editor :
- Ahmad Munjin