
Pantau – Ekonom mengungkapkan sejumlah risiko dan implikasi ekonomi saat orang yang belum memiliki rumah dimasukkan ke dalam kategori miskin. Salah satunya, kategorisasi itu tidak mencerminkan kompleksitas kemiskinan.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, definisi kemiskinan saat ini biasanya mengacu pada pendapatan, pengeluaran, atau tingkat konsumsi. Menurutnya, menambahkan dimensi ‘kepemilikan rumah’ dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kesejahteraan masyarakat, mengingat hunian adalah kebutuhan dasar.
Tak Cerminkan Kompleksitas Kemiskinan
“Namun, terdapat risiko terjadi simplifikasi yang tidak mencerminkan kompleksitas kemiskinan. Misalnya, mereka yang tidak memiliki rumah tetapi memiliki aset atau pendapatan tinggi, seperti pekerja jarak jauh, tidak dapat dianggap miskin,” kata Josua kepada Pantau.com di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Hal lainnya, sambung dia, terdapat potensi ketimpangan dalam ketegorisasi, mengingat di perkotaan, banyak orang yang menyewa rumah tetapi hidup dalam kondisi relatif layak.
“Menyamaratakan mereka sebagai miskin karena tidak memiliki rumah bisa menjadi tidak akurat,” timpal dia.
Baca juga: Usul Orang Tak Punya Rumah Disebut Miskin, Menteri Ara Terinspirasi Bank Dunia
Sebaliknya, di perdesaan, kepemilikan rumah mungkin tinggi, tetapi kualitasnya rendah, yang tidak selalu mencerminkan kesejahteraan.
Tiga Implikasi Ekonomi
Lebih jauh dia menjelaskan, terdapat beberapa implikasi ekonomi terhadap orang-orang yang masuk katergori tersebut.
Pertama, orang-orang yang dikategorikan sebagai miskin mungkin menghadapi stigma sosial yang memengaruhi peluang ekonomi mereka, seperti sulit mendapatkan pekerjaan atau akses ke pembiayaan.
“Namun, pengakuan formal sebagai kelompok yang membutuhkan dapat membuka akses terhadap program pemerintah,” ujarnya.
Baca juga: Lapor ke Presiden Prabowo, Menteri PKP Telah Serahkan 30 Ribu Rumah ke Rakyat
Kedua, dengan masuknya ke kategori masyarakat miskin, maka akan dapat meningkatkan kemungkinan mereka mendapatkan bantuan sosial (bansos) seperti subsidi perumahan, bantuan pangan, atau program pelatihan kerja.
“Meskipun demikian, hal ini juga dapat meningkatkan beban fiskal pemerintah jika basis penerima bantuan menjadi terlalu luas tanpa kriteria yang tepat,” ucapnya.
Ketiga, jika pemerintah menggunakan data ini untuk merancang program pemberdayaan, seperti pelatihan kerja, akses ke pembiayaan rumah murah, atau kredit usaha mikro, kelompok ini berpotensi dapat diberdayakan secara ekonomi.
“Sekiranya kedepannya pemerintah mendefinisikan masyarakat miskin sebagai orang yang belum memiliki rumah, menurut pendapat saya kelompok masyarakat yang belum memiliki rumah tersebut tidak berarti otomatis layak menerima bansos,” tukas Josua.
Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Investor Timteng Siap Bangun 1 Juta Rumah per Tahun
Butuh Data yang Lebih Rinci
Pemerintah dinilai Josua perlu mengembangkan kriteria tambahan, seperti pendapatan, aset, atau status pekerjaan, untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Penyaringan yang tepat dapat memastikan program bansos efektif dalam mengentaskan kemiskinan dan tidak menjadi beban fiskal yang berlebihan.
Dengan data yang lebih lengkap tentang kelompok ini, ditegaskan dia, pemerintah dapat memetakan kebutuhan mereka. Ia mencontohkan pelatihan keterampilan atau bantuan pembiayaan perumahan. “Hal ini dapat meningkatkan daya ungkit program pemberdayaan ekonomi,” ungkap dia.
Di atas semua itu, Josua menegaskan pentingnya pemerintah memanfaatkan data yang lebih rinci untuk membedakan antara ketidakmampuan memiliki rumah karena kemiskinan struktural atau faktor lain.
“Dan sekiranya kategori ini diterapkan, skema perumahan seperti subsidi sewa, perumahan murah, atau kredit mikro untuk rumah pertama harus menjadi prioritas. Kelompok ini dapat diberdayakan melalui pelatihan kerja, dukungan usaha mikro, atau program yang memungkinkan mereka meningkatkan pendapatan dan akses terhadap kepemilikan rumah,” papar Josua.
Baca juga: Cek Yuk! Ini Data 79 Ribu Ha Tanah Terlantar Disiapkan BPN untuk 3 Juta Rumah
Dengan demikian, kebijakan ini dinilai dia berpotensi ampuh membantu banyak orang jika dirancang dengan baik.
“Tetapi, pelaksanaannya membutuhkan perencanaan matang agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, seperti beban fiskal yang meningkat atau ketidakadilan dalam distribusi bantuan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait melontarkan usulan agar orang yang belum punya rumah masuk ke dalam kategori warga miskin. Usulan itu terinspirasi setelah pertemuannya dengan perwakilan Bank Dunia (World Bank).
Bank Dunia mempunyai indikator warga yang kekurangan konsumsi kalori harian tertentu saja sudah dianggap masuk kategori miskin.
"Saya pikir sangat pantas kita masukkan juga kalau orang belum punya rumah, rumah pertama masuk kategori miskin. Bagaimana dia dianggap sudah tidak miskin, sementara dia belum punya rumah?" timpal Menteri Ara dalam acara Rakornas Keuangan Daerah Kemendagri di Hotel Sahid, Jakarta, dikutip Kamis (19/12/2024).
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perumahan pemerintahan Prabowo-Gibran, Hashim Djojohadikusumo, juga membeberkan ada 37 juta rakyat Indonesia yang belum memiliki rumah layak huni.
Baca juga: Percepat Realisasi Program 3 Juta Rumah, Wamen Nezar Dorong Adopsi Teknologi Digital
- Penulis :
- Ahmad Munjin
- Editor :
- Ahmad Munjin