
Pantau – Tahun 2024 baru saja berlalu. Namun, bagi 615 ribu investor pemegang saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) tahun sio naga kayu itu menyisakan kisah sedih.
Bagaimana tidak, tahun 2024 ternyata menjadi tahun terburuk kedua bagi investor BBRI sejak perseroan melakukan penawaran umum saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) lebih dari dua puluh tahun lalu.
Berdasarkan hitung-hitungan Tim Riset Algo, sebagaimana dilansir Algoresearch dikutip Kamis (2/1/2025), harga sahamnya anjlok 28 persen pada 2024. Ini tidak termasuk dividen.
Sebelumnya, saham ini pernah berkinerja lebih buruk selama krisis keuangan 2008 yang saat itu terpangkas hingga 38 persen.
Baca juga: Berisi Saham BBCA hingga BBRI, Analis Rekomendasikan Beli Reksa Dana Ini
Kombinasi faktor-faktor seperti pertumbuhan yang memburuk dan melemahnya kualitas portofolio pinjaman telah menyebabkan aksi jual besar-besaran dari investor asing. Sebab, BBRI kehilangan katalis pertumbuhannya.
Hal ini telah mendorong emiten bank pelat merah ini untuk membagikan dividen yang lebih tinggi sebagai cara untuk membuat sahamnya lebih menarik. Akan tetapi, langkah tersebut dinilai Algo menyiratkan bahwa sahamnya jadi sekadar value trap alias perangkap nilai.
Di sisi lain, meskipun harga sahamnya terus menurun, ratusan ribu investor ritel dari 615 ribu investor justru terus menjadi pembeli sepanjang tahun ini. Kondisi ini menjadikan BBRI sebagai saham yang paling banyak dimiliki di bursa saham Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Fundamental Loyo di 2024
“Kita tentu bertanya-tanya mengapa investor ritel begitu percaya pada BBRI meskipun kinerjanya buruk tahun ini (2024), di mana pertumbuhan laba bersih triwulanan di tahun 2024 hanya di bawah 5 persen,” kata tim riset Algo seraya mempertanyakan.
Baca juga: Inikah Biang Kerok Longsornya Saham Trio Bank: BBRI, BBCA dan BMRI?
Secara fundamental, emiten BBRI tengah berjuang menghadapi penurunan pendapatan bunga bersih. Penurunan itu dipicu biaya pendanaan yang lebih tinggi, pengetatan likuiditas, meningkatnya pencadangan dari sektor mikro dan UKM yang lemah, serta melambatnya pertumbuhan pinjaman seiring dengan melambatnya ekonomi.
Sebagai gantinya, perseroan mengandalkan pinjaman korporasi untuk mendorong pertumbuhan. Sialnya, segmen ini dinilai kurang ahli bersaing dalam menghadapi persaingan ketat dari rekan-rekan emiten bank yang lebih kuat, seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI).
Gagal Mencapai Target
Selain itu, BBRI telah gagal memenuhi target yang sudah dipatok 2024. Itu khususnya pada indikator penting, seperti pertumbuhan pinjaman. Pada 9 bulan pertama 2024, angkanya hanya tumbuh 8,2 persen dari target 10-12 persen. Begitu juga dengan biaya kredit yang tinggi 3,4 persen dari target maksimal 3 persen.
Semua faktor ini menunjukkan, saham BBRI tergopoh-gopoh berjuang dan kekurangan katalis positif untuk tumbuh. “Setidaknya itu dalam jangka menengah, yang menyebabkan banyak investor asing melakukan penjualan,” tulis Tim Riset Algo.
Baca juga: Pemegang Saham Semringah, BRI Guyur Dividen Interim Rp20,46 Triliun
- Penulis :
- Ahmad Munjin