
Pantau - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Selatan menyatakan bahwa kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat dapat menjadi ancaman serius bagi industri kelapa sawit nasional, khususnya dalam hal daya saing ekspor.
Ketua GAPKI Sumsel, Alex Sugiarto, menilai kenaikan tarif ekspor ke AS akan meningkatkan biaya operasional dan menekan volume ekspor dalam jangka pendek.
"Kebijakan ekspor AS ini berpotensi menurunkan volume ekspor dalam jangka pendek dan berdampak langsung pada pendapatan petani. Secara luas lagi pada pendapatan daerah", ujarnya.
Dorong Negosiasi Dagang dan Hilirisasi Sawit
Kondisi tersebut mendorong GAPKI Sumsel untuk meminta pemerintah segera menempuh jalur negosiasi perdagangan dengan Amerika Serikat guna mengurangi dampak tarif tinggi terhadap produk ekspor Indonesia.
"Negosiasi perdagangan dengan AS dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak tarif bagi produk ekspor Indonesia ke AS", tambah Alex.
GAPKI juga mendorong agar pemerintah memberikan dukungan kebijakan strategis, seperti insentif keuangan berupa keringanan pajak dan pungutan ekspor.
"GAPKI Sumsel berharap ada kebijakan insentif keuangan, seperti keringanan pajak ekspor, pungutan ekspor juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, agar dapat membantu mengatasi peningkatan biaya dan pengurangan volume permintaan akibat dampak kenaikan tarif AS", jelasnya.
Meski Amerika Serikat bukan pasar utama ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia dibanding India, Tiongkok, atau Pakistan, kondisi ini dinilai bisa menjadi momentum penting untuk memperkuat hilirisasi industri sawit di dalam negeri.
"Ada potensi besar untuk inovasi dan hilirisasi sawit di Sumsel, karena posisinya yang strategis secara geografis dan ditambah pemerintah daerah sangat supportif dalam pengembangan industri kelapa sawit", kata Alex.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun dikenai tarif tinggi, minyak sawit Indonesia tetap menarik bagi importir AS, karena tarif serupa juga dikenakan pada minyak nabati lain.
"Dari kebijakan ini juga bisa melihat potensi lain, dimana kita menunggu kebijakan berikutnya dari Tiongkok. Ada potensi Tiongkok mengenakan tarif tinggi pada kedelai AS sehingga dapat mengakibatkan Tiongkok mengimpor lebih banyak produk minyak sawit, daripada kedelai AS", pungkasnya.
- Penulis :
- Pantau Community








