
Pantau - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa sebanyak 84 dari 200 penunggak pajak yang telah memiliki putusan hukum tetap (inkrah) telah melakukan pembayaran dengan total mencapai Rp5,1 triliun hingga September 2025.
Dalam konferensi pers APBN KiTa edisi September 2025 yang digelar pada Senin (22/9), Purbaya menegaskan akan terus mengejar 200 wajib pajak besar yang masih menunggak kewajiban pajaknya.
"Ini akan kami kejar terus, sampai akhir tahun selesai lah. Yang jelas mereka nggak bisa lari lagi sekarang," ungkapnya.
Menurut Purbaya, potensi penerimaan dari 200 wajib pajak yang telah inkrah tersebut mencapai Rp50 triliun hingga Rp60 triliun.
" Kami punya daftar 200 penduduk pajak besar yang sudah inkrah. Kami mau kejar dan eksekusi sekitar Rp50 triliun sampai Rp60 triliun," ia mengungkapkan.
Mayoritas dari para penunggak pajak tersebut berasal dari kalangan perusahaan.
Sementara itu, jumlah wajib pajak perorangan relatif kecil.
Pemerintah menargetkan seluruh tagihan pajak dapat diselesaikan hingga akhir tahun 2025.
Ekonom Ingatkan Risiko Sosial dan Ekonomi dari Penyitaan Aset
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memperingatkan bahwa pelaksanaan eksekusi tunggakan pajak harus dilakukan dengan hati-hati.
Ia menyoroti bahwa tidak semua pengusaha memiliki likuiditas untuk membayar tunggakan meskipun sudah inkrah secara hukum.
Jika para wajib pajak tidak mampu membayar, opsi yang tersedia bagi pemerintah adalah melakukan penyitaan aset perusahaan.
Namun, aset-aset tersebut belum tentu dalam kondisi baik dan sebagian besar sudah dijadikan agunan kredit di perbankan.
Karena posisi hukum bank sebagai kreditur utama lebih kuat, pemerintah kemungkinan akan menghadapi tantangan hukum saat mencoba menyita aset.
Penyitaan yang gegabah juga berisiko menyebabkan gelombang kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Wijayanto menekankan bahwa dampak sosial ekonomi dari eksekusi pajak ini tidak bisa diabaikan, karena dapat menurunkan persepsi investor terhadap stabilitas iklim bisnis Indonesia.
Ia menilai kebijakan yang digunakan pemerintah harus mempertimbangkan kondisi spesifik masing-masing kasus.
"Kebijakan harus adil dan tidak boleh tebang pilih agar kebijakan tetap kredibel dan efektif," ujar Wijayanto.
- Penulis :
- Leon Weldrick