
Pantau - Isu seputar beras kembali menjadi sorotan publik dalam beberapa pekan terakhir, menyusul meningkatnya sentimen negatif terkait kebijakan, ketersediaan, dan kualitas komoditas pangan pokok tersebut.
Beras sebagai Isu Sensitif dan Simbol Rasa Aman Publik
Beras merupakan makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, sehingga setiap isu terkait harga, kualitas, maupun distribusinya mudah memicu respons emosional masyarakat.
Kenaikan harga, kesulitan akses, hingga penurunan kualitas beras menciptakan keresahan yang luas karena langsung menyentuh kebutuhan dasar rumah tangga.
Sentimen negatif yang berkembang saat ini mencerminkan keresahan kolektif masyarakat terhadap dinamika kebijakan dan pasokan beras.
Bentuk sentimen tersebut mencakup kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah, ketidakpuasan atas kualitas beras yang beredar, serta kekhawatiran terhadap nasib petani lokal.
Pakar kebijakan publik menilai bahwa sentimen semacam ini seharusnya dipandang sebagai sinyal sosial yang perlu ditangani dengan bijak agar tidak berkembang menjadi ketidakpercayaan terhadap institusi.
Kompleksitas Masalah: Distribusi, Regulasi, dan Persepsi Publik
Salah satu penyebab utama munculnya sentimen negatif adalah persepsi publik terhadap kebijakan pemerintah, terutama dalam menjaga stabilitas harga dan pasokan beras.
Kenaikan harga sering dianggap sebagai bukti ketidakefektifan pemerintah dalam mengendalikan sektor pangan.
Masalah distribusi juga dinilai belum merata, dengan inefisiensi logistik menyebabkan beberapa daerah kesulitan memperoleh beras dengan harga terjangkau.
Petani pun merasa tidak mendapatkan harga jual yang adil, sementara harga di tingkat konsumen tetap tinggi.
Praktik penimbunan dan spekulasi oleh oknum tertentu menambah kompleksitas masalah, menciptakan kelangkaan semu dan mendongkrak harga secara tidak wajar.
Faktor ekonomi makro turut memperparah situasi, seperti ketidakpastian ekonomi global dan domestik, fluktuasi harga pupuk, energi, dan transportasi yang meningkatkan biaya produksi serta distribusi.
Akibatnya, beban tersebut akhirnya jatuh ke tangan konsumen.
Perubahan regulasi yang tidak berpihak pada sektor pertanian menimbulkan resistensi dari pelaku usaha tani.
Di sisi lain, faktor emosional seperti kepanikan pasar dan reaksi berlebihan publik memperkuat sentimen negatif yang sudah ada.
Keterbatasan informasi resmi dan dominasi narasi di media sosial memperumit situasi, di mana klarifikasi dari otoritas sering kalah cepat dibanding penyebaran informasi yang belum diverifikasi.
Kondisi ini membentuk persepsi publik yang sulit dikendalikan, terutama ketika masyarakat tidak mendapatkan penjelasan yang transparan mengenai kondisi stok dan kebijakan harga.
Selain itu, isu beras kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu sebagai alat politik, memperkeruh opini publik dan memperbesar ketidakpercayaan.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf