HOME  ⁄  Ekonomi

Gadai Mobil Hingga Tak Kerja, Ini Cerita Korban Tsunami Palu Bangun Ekonomi

Oleh Nani Suherni
SHARE   :

Gadai Mobil Hingga Tak Kerja, Ini Cerita Korban Tsunami Palu Bangun Ekonomi

Pantau.com - Kehilangan pekerjaan dan anggota keluarga yang dicintai adalah dua nestapa yang harus dihadapi Daegal Aristo setelah gempa dan tsunami menerjang kota tempat tinggalnya, Palu. Kondisi keuangan keluarganya pun ikut memburuk. Berbagai cara diupayakan agar mampu bertahan. Di sisi lain, bencana Palu menyibak fakta bahwa ilmu pengetahuan dan teknololgi belum mampu bersaing dengan kecepatan tsunami.

Daegal Aristo Dwiputra (26) ingat betul detik-detik saat gempa menerjang Palu, Sulawesi Tengah. Sore nahas itu, ia berada di ruangan kantornya.

"Saya ada di kantor mau persiapan ke masjid. Belum sempat keluar dari ruangan, gempa pun mengguncang," ceritanya seperti dikutip ABC.

"Sebelum rubuh, saya sudah sempat lari keluar dengan menggendong rekan kerja saya yang saat itu terjatuh saat berlarian keluar dari gedung kantor yang sekarang kondisinya hancur lebur," tuturnya.

Baca juga: Thomas Lembong 'Jualan' 3 Alasan Dunia harus Investasi di ASEAN

Kantor Daegal terletak tak jauh dari Palu Grand Mall, yang berada di pinggir pantai.

"Lepas lihat tsunami, saya berlari ke rumah, jarak sekitar 7-8 km. Dan herannya tidak merasa kelelahan," kenangnya.

Hari itu hingga keesokannya, Daegal kesulitan memejamkan mata, ia merasa khawatir sepanjang waktu.

Kondisi rumahnya yang tak mungkin kembali ditinggali membuat Daegal dan keluarganya tinggal di pengungsian selama 1 bulan 13 hari. Akibat bencana itu, ia kehilangan seorang saudara sepupu. Beruntung, seluruh keluarga intinya selamat tanpa terkecuali. Namun mimpi buruk mulai menghampiri.

"Saya kehilangan pekerjaan dan kondisi keuangan kritis. Rumah pun sebelum diperbaiki, dalam kondisi tidak layak huni," keluhnya.

"Sebelum gadai mobil, kami (ia dan keluarga) hanya menggunakan sisa uang yang ada untuk bertahan hidup. Belanja secukupnya, dan waktu minggu ke dua pasca bencana, keluarga saya makan 2 hari sekali untuk menghemat."

Ayah Daegal adalah seorang pengusaha. Pasca gempa, praktis sang ayah belum bisa kembali berusaha. Ia juga menuturkan soal stok air menipis dan gas habis, sehingga mereka harus meminum air sumur.

"Kami minum air mentah dari sumur suntik karena terpaksa."

"Keluarga saya tidak terlalu mengharapkan bantuan selagi mampu," ujar pemuda yang kini telah kembali bekerja profesional ini.

Baca juga: Isu Pemakzulan Donald Trump Jadi Keuntungan RI di Sektor Ekonomi

Daegal tertolong sejak ia menjadi relawan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di hari kedua bencana. Namun baru awal tahun ini, kondisi keuangan ia dan keluarganya berangsur pulih.

"Bulan Februari, saya mendapat bantuan dari teman, kerabat dan keluarga di daerah berbeda terkumpul melebihi utang keluarga saya dan bisa buat modal untuk memperbaiki keuangan," akunya.

Kini, ia bekerja sebagai tenaga lepas jasa pembuatan laporan keuangan dan audit. Kondisi keuangannya boleh saja membaik tapi hingga hari ini, Daegal masih diselimuti trauma.

"Saya masih suka teringat suara gemuruh gempa dan suara aungan sebelum tsunami menerjang. Rumah saya dekat dengan lokasi Pantai Talise," ungkapnya.

Apalagi, saat membantu evakuasi di sepanjang pantai itu, Daegal menemukan jasad temannya yang meninggal karena terjangan tsunami.

"Saat itu hari ke-3 pasca bencana. Teman saya itu bersama temannya, saat saya temukan sedang bergandeng tangan. Dan erat walaupun sudah menjadi mayat waktu hendak saya lepaskan," tuturnya.

"Gempa dan tsunami saat itu, benak saya terasa seperti akhir hayat," pungkasnya.

Penulis :
Nani Suherni