
Pantau - Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan lawatan diplomatik ke kawasan Teluk dengan agenda utama pengamanan investasi, penjualan senjata, dan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, namun menuai kritik karena dianggap mengabaikan tragedi kemanusiaan di Gaza.
Trump tiba di Riyadh, Arab Saudi, pada Selasa, 13 Mei 2025, dan disambut dengan karpet warna lavender oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman—perlakuan yang jauh berbeda dibanding kunjungan Presiden Joe Biden sebelumnya.
Agenda Trump di Timur Tengah mencakup kunjungan ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA), menjadikannya kunjungan luar negeri kedua pasca menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Roma.
Fokus utama lawatan ini adalah kesepakatan ekonomi dan investasi, di tengah penurunan PDB Amerika Serikat pada kuartal pertama 2025.
Gaza Membara, Trump Justru Dorong Penjualan Senjata dan Normalisasi Saudi-Israel
Dalam KTT bisnis Saudi-AS yang dihadiri tokoh seperti Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan Sam Altman, Trump menyepakati penjualan senjata senilai 142 miliar dolar AS ke Arab Saudi.
Kesepakatan mencakup penguatan sistem pertahanan udara, maritim, perbatasan, dan komunikasi.
Trump juga bertemu Presiden Suriah Ahmed Al-Sharaa dan mencabut sanksi AS terhadap Damaskus, sebuah langkah yang membuka jalan normalisasi, didukung oleh Saudi dan Turki namun ditolak Iran dan Israel.
Sikap Trump yang enggan mengunjungi Israel dan memilih jalur diplomasi dengan Iran dan kelompok Houthi menuai kekecewaan dari PM Israel Benjamin Netanyahu.
Perbedaan ini menandakan bahwa Trump tidak lagi memberi "cek kosong" bagi kebijakan militer Israel seperti yang terjadi sebelumnya.
Sementara itu, serangan Israel ke Gaza kembali terjadi pada malam 13 Mei, menewaskan lebih dari 80 warga Palestina, di tengah lawatan Trump.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 52.800 warga Palestina tewas di Gaza, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Kritik Dunia terhadap Pendekatan AS, Seruan Kemanusiaan untuk Gaza
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat penangkapan atas PM Israel Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
PBB pun kembali mendesak Dewan Keamanan untuk menghentikan genosida dan memaksa Israel mencabut blokade bantuan ke Gaza.
Upaya AS dan Israel mengalirkan bantuan melalui kontraktor keamanan swasta ditolak oleh PBB karena dianggap tidak sesuai prinsip kemanusiaan.
Masyarakat Palestina juga menolak skema bantuan tersebut karena dianggap mempolitisasi krisis dan tidak tulus.
Trump turut menuai kritik karena sebelumnya menyebut Gaza sebagai "Riviera Timur Tengah" dan mengusulkan relokasi warga Palestina—pernyataan yang dianggap sebagai pembersihan etnis.
Para tokoh internasional menilai kunjungan Trump bersifat “kosmetik” dan hanya fokus pada transaksi bisnis, bukan perdamaian sejati.
Seruan global terus mengarah pada perlunya netralitas AS, penghentian pasokan senjata ke Israel, dan dukungan terhadap solusi dua negara serta rekonstruksi Gaza dan kawasan konflik lainnya.
Investasi jangka panjang di kawasan seharusnya diarahkan pada penguatan hubungan antarmasyarakat, teknologi, pendidikan, dan energi hijau—bukan dominasi militer.
Kunci peran AS di Timur Tengah, menurut banyak pengamat, harus berpijak pada konsistensi, kredibilitas, dan kerendahan hati.
- Penulis :
- Balian Godfrey










