
Pantau - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengaku heran dengan pernyataan Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho yang menyebut kasus pencabulan anak bukan pemerkosaan.
Fickar menjelaskan, seorang penegak hukum seharusnya melengkapi pengetahuannya dengan ilmu penunjang lain, seperti sosiologi dan antropologi.
Sehingga, menurutnya, ketika polisi memeriksa suatu kasus atau peristiwa, maka akan banyak perspektif yang didapat untuk membantu pengusutan sebuah kasus.
"Ya, jelas (pemerkosaan). Pak Kapolda kurang piknik," sindir Fickar saat dihubungi, Jumat (2/6/2023).
Fickar menyoroti pernyataan Kapolda Sulteng yang mengatakan tidak ada unsur pemaksaan oleh para tersangka terhadap anak berusia 16 tahun itu.
Ia menegaskan, pemaksaan dalam kasus pemerkosaan tidak melulu melalui fisik, melainkan bisa juga dipaksa lewat ancaman psikis.
"Di sinilah letak pemaksaan itu, apalagi dilakukan oleh banyak orang yang salah satunya anggota polisi," jelas Fickar.
Fickar mengatakan, apabila menggunakan terminologi persetubuhan, memang tidak ada pelanggaran hukum pidananya sepanjang dilakukan oleh orang dewasa.
Namun, akan berbeda jika sang wanita belum dewasa. Maka apapun alasannya, itu merupakan pemaksaan atau perkosaan karena terjadi pola relasi yang tidak seimbang.
"Ketidakseimbangan itu ada secara alamiah bagi wanita yang belum dewasa, yang belum bisa sepenuhnya berdaulat untuk dapat menentukan dan mengukur untung ruginya, melakukan perbuatan orang dewasa," imbuhnya.
Sebelumnya, kasus pemerkosaan terhadap anak 16 tahun berinisial RO di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) terus bergulir.
Terbaru, polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur.
"Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho.
Fickar menjelaskan, seorang penegak hukum seharusnya melengkapi pengetahuannya dengan ilmu penunjang lain, seperti sosiologi dan antropologi.
Sehingga, menurutnya, ketika polisi memeriksa suatu kasus atau peristiwa, maka akan banyak perspektif yang didapat untuk membantu pengusutan sebuah kasus.
"Ya, jelas (pemerkosaan). Pak Kapolda kurang piknik," sindir Fickar saat dihubungi, Jumat (2/6/2023).
Fickar menyoroti pernyataan Kapolda Sulteng yang mengatakan tidak ada unsur pemaksaan oleh para tersangka terhadap anak berusia 16 tahun itu.
Ia menegaskan, pemaksaan dalam kasus pemerkosaan tidak melulu melalui fisik, melainkan bisa juga dipaksa lewat ancaman psikis.
"Di sinilah letak pemaksaan itu, apalagi dilakukan oleh banyak orang yang salah satunya anggota polisi," jelas Fickar.
Fickar mengatakan, apabila menggunakan terminologi persetubuhan, memang tidak ada pelanggaran hukum pidananya sepanjang dilakukan oleh orang dewasa.
Namun, akan berbeda jika sang wanita belum dewasa. Maka apapun alasannya, itu merupakan pemaksaan atau perkosaan karena terjadi pola relasi yang tidak seimbang.
"Ketidakseimbangan itu ada secara alamiah bagi wanita yang belum dewasa, yang belum bisa sepenuhnya berdaulat untuk dapat menentukan dan mengukur untung ruginya, melakukan perbuatan orang dewasa," imbuhnya.
Sebelumnya, kasus pemerkosaan terhadap anak 16 tahun berinisial RO di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) terus bergulir.
Terbaru, polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur.
"Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho.
- Penulis :
- Aditya Andreas