
Pantau - Sebuah pemberitaan mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kini kembali menjadi pemberitaan di dunia maya. Korban berinisial SB (25) ditendang dan diludahi oleh sang suami yang berinisial AR saat dirinya sedang menggendong sang anak yang berusia 8 Bulan.
Kondisi ini diakui oleh korban telah terjadi secara berulang kali, bahkan korban telah melayangkan gugatan cerai pada tahun 2023. KDRT yang dialami korban diduga terjadi akibat permasalahan rumah tangga. Akhirnya pada KDRT terakhir yang terjadi di rumah korban pada Jum’at, 16 Agustus 2024, sekitar pukul 14.00 WIB korban melaporkan kasus ini ke kepolisian.
Korban mengaku saat pelaku melakukan KDRT, dirinya tengah menggendong sang anak, bahkan pelaku melemparkan tisu kepada Ibunya yang sedang melindungi korban. Kemudian pada akhirnya korban dijambak, ditendang, dan diludahi oleh pelaku.
"Sempat melempar tempat tisu ke arah saya dan nyokapnya yang sedang melindungi saya, dijenggut, ditendang saat mengendong anak, diludahi," ujar SB kepada detikcom, Sabtu (17/8).
Baca juga: Ditetapkan jadi Tersangka, Pegawai Pajak Pelaku KDRT Diberhentikan Sementara
Berdasarkan kasus ini, sebenarnya apa yang menjadi penyebab seseorang melakukan KDRT?
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sendiri merupakan kondisi dimana salah satu atau kedua pasangan melakukan kekerasan akibat keinginan menunjukkan kekuasaan dan kontrol kepada pasangan dalam rumah tangga.
"Kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keinginan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas pasangan. Orang yang melakukan kekerasan percaya bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol dan membatasi kehidupan pasangannya," ucap Kasandra Putranto seorang Psikolog Klinis Forensik, Universitas Indonesia saat dihubungi ANTARA.
Dirinya kembali melanjutkan, “Seringkali karena mereka percaya bahwa perasaan dan kebutuhan mereka sendiri harus menjadi prioritas dalam hubungan, atau karena mereka menikmati menggunakan kekuatan yang diberikan untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya.”
Pendapat lain dari seorang Psikolog lulusan Universitas Indonesia, Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPED mengatakan, “Biasanya itu kan tentang power dan kontrol. Jadi pencetusnya bisa macam-macam. Bisa karena ekonomi, bisa juga karena pengalaman. Dia pernah mengalami kekerasan waktu masih kecil. Jadi dia trauma dan itu jadi cycle ya. Dia malah melakukan hal yang sama. Atau bisa juga dia di rumah melihat waktu dia masih anak-anak.”
Baca juga: Korban KDRT di Jakut Terluka Parah, Tidak Bisa Bangun 3 Hari
Rosdiana mencoba menjelaskan bagaimana KDRT terjadi karena selalu berbicara soal power dan kontrol dalam hubungan rumah tangga. Pada hal ini, Kontrol dan power yang dimaksud adalah kondisi dimana kekuasaan tidak seimbang didalam hubungan rumah tangga.
Kemudian pada beberapa kasus juga ditemukan bahwa kekerasan menjadi alat untuk dapat menyelesaikan sebuah permasalahan dalam rumah tangga. Tidak hanya itu, lelah psikis hingga menimbulkan sikap frustasi pada diri sendiri, namun tidak mampu melakukan Coping stress. Pada akhirnya KDRT menjadi cara akhirnya bagi banyak pasangan untuk menyelesaikan konflik rumah tangga.
Berdasarkan Data yang terhimpun dari 1 Januari hingga 14 Agustus 2024 mencatat jumlah kasus sekitar 16.193 kasus kekerasan. Mirisnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam kasus tersebut mendominasi laporan, dengan total sekitar 9.503 kasus, dengan Jumlah korban perempuan sejumlah 14.068.
Jadi sebenarnya apa yang bisa dilakukan perempuan saat mengalami KDRT?
Pilihan terbaiknya adalah keluar dari hubungan dengan pasangan yang memiliki kecenderungan dengan tindakan KDRT. Tapi anak bagaimana? Banyak perempuan yang lebih memilih hidup dalam KDRT dengan alasan anak. Pada beberapa kasus, mengatakan bahwa pilihan tersebut demi anak, dilakukan karena takut anak tidak mendapatkan kebahagiaan dari orang tua yang lengkap.
Baca juga: Cut Intan Nabila Kembali Unggah Bukti Video Lama KDRT Armor
Seorang Psikolog dari Insight Psikologi, Alfa Restu Mardhika menjelaskan bahwa banyak sekali korban KDRT yang nggak mau melaporkan kekerasan yang dialami atau bahkan bercerai demi menjaga kebahagiaan anak.
“Korban sering kali merasa takut dengan pandangan masyarakat yang menganggap perceraian sebagai aib, terutama jika ada anak-anak dalam keluarga. Pada akhirnya korban akan memilih tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan demi anak,” ujar Alfa, yang disampaikan kepada Republika.co.id, Rabu (14/8/2024).
Pada hal ini, Alfa menegaskan kembali bahwasanya bertahan dengan kekerasan dalam rumah tangga mampu berdampak buruk terhadap psikologis anak.
“Kekerasan yang terjadi di depan anak, walaupun dia masih kecil, itu dapat terekam dalam ingatan mereka dan bisa menimbulkan luka psikologis yang dalam. Ini sangat berbahaya untuk perkembangan anak di masa depan,” tambah alumni Psikologi Universitas Indonesia tersebut.
Baca juga: Viral Suami Diduga Pegawai Ditjen Pajak KDRT Istri Depan Anak
Selain keluar dari hubungan rumah tangga dengan penuh kekerasan, yang dapat dilakukan saat mengalami KDRT adalah dengan melaporkan kasusnya saat mengalami kekerasan oleh pasangan. Berikut beberapa kontak yang dapat dihubungi:
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA)
- Call Center (Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129): Hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129.
- Email (P2TP2A KemenPPPA): https://www.kemenpppa.go.id Hotline: 081317617622- 082125751234.
Komnas Perempuan
- Email: [email protected].
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
- Hotline Call Center: 1500-148,
- WhatsApp: 085770010048,
- Akun media sosial: infolpsk (Instagram).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK
- Email: [email protected]
- No. Telp: 0813-8882-2669.
Laporan: Andea Muhammad Abhista Andikaputra
- Penulis :
- Latisha Asharani
- Editor :
- Latisha Asharani