
Pantau - Kalangan pakar hukum hingga guru besar mendatangi Kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jakarta, mendesak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan, serta pelabelan bisphenol-A (BPA) pada produk air minum dalam kemasan.
Mereka adalah Pakar Hukum dan Kebijakan Publik sekaligus Staf Khusus Rektor UI Ima Mayasari, Guru Besar dan Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Prof Junaidi Khotib, Pakar Farmakologi Universitas Indonesia Prof Rianto Setiabudy, Pakar Polymer Universitas Indonesia Prof M Chalid, Anggota Komisi IX DPR RI Arzetti Bilbina, dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.
"RUU POM ini memiliki rangkaian proses panjang. Pengesahan terhadap obat, makanan, dan produk kefarmasian penting untuk mendapat prioritas, sehingga kami mendorong segera dijadikan undang-undang," kata Junaidi Khotib di kantor Watimpres Jakarta, Selasa(28/2/2023).
Menurut Junaidi, pengawasan produk obat dan makanan di Indonesia hingga saat ini belum bersifat menyeluruh, terbukti dengan kemunculan sejumlah kasus keracunan obat, seperti cemaran Etilen Glikol/Dietilen Glikol (EG/DEG) melebihi ambang aman, hingga nitrogen cair yang terkandung dalam produk jajanan anak.
Sementara itu, Arist Merdeka Sirait menyoroti tentang isu BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) yang kini banyak dikonsumsi anak, sebab pelabelan BPA merupakan hal penting dalam mengedukasi keluarga terkait bahaya yang bisa ditimbulkan dalam jangka waktu panjang.
"Dari perspektif perlindungan anak, ada bahaya BPA yang kini mengancam kesehatan anak, balita, hingga janin ibu hamil. Migrasi BPA dari alat minum cukup mengancam kehidupan masyarakat," katanya.
Ia mendorong kepada pemerintah untuk segera membuat pengaturan yang tegas tentang pelabelan AMDK pada kemasan plastik. BPOM telah mengajukan revisi kedua Peraturan Kepala BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan kepada Presiden untuk disetujui dan segera disahkan.
Arist mengemukakan terdapat temuan pada post market mengenai migrasi pada AMDK galon polikarbonat yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, terutama pada usia rentan, yaitu bayi, balita dan janin pada ibu hamil.
"Revisi aturan yang baru tentang pelabelan BPA ini didukung dengan naskah akademik yang lengkap. Sudah diserahkan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara (Setneg)," katanya.
Menurut Arist, dokumen aturan pelabelan BPA yang dihimpun BPOM berdasarkan hasil kajian berbagai kalangan terkait masih dalam pembahasan di Sekretariat Negara (Setneg). "BPOM sudah banyak dokumen tentang BPA, tapi masih 'parkir' di Setneg. Percepat RUU POM, segera dibahas, sebelum RUU ini disahkan, pelabelan itu harus dipercepat," katanya.
Sementara itu, Pakar Hukum dan Kebijakan Publik sekaligus Staf Khusus Rektor UI Ima Mayasari mendorong Presiden Joko Widodo segera melakukan persetujuan substansi terhadap rancangan peraturan kepala BPOM, sebab dari semua pemangku kepentingan yang ada telah menyetujui dan menyepakati urgensi aturan tersebut.
"Terkait RUU kita tahu, BPOM butuh payung hukum dalam RUU POM. Komisi IX juga mendorong pengesahan RUU POM yang kemudian menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di 2019--2024. Ini perlu, karena penataan regulasi harus berujung pada penguatan sebuah kelembagaan yang mandiri di dalam konteks pengawasan obat dan makanan," katanya.
Seluruh masukan tersebut telah disampaikan kepada Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, di antaranya Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, Agung Laksono, dan Putri Kuswisnuwardhani.
Mereka adalah Pakar Hukum dan Kebijakan Publik sekaligus Staf Khusus Rektor UI Ima Mayasari, Guru Besar dan Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Prof Junaidi Khotib, Pakar Farmakologi Universitas Indonesia Prof Rianto Setiabudy, Pakar Polymer Universitas Indonesia Prof M Chalid, Anggota Komisi IX DPR RI Arzetti Bilbina, dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.
"RUU POM ini memiliki rangkaian proses panjang. Pengesahan terhadap obat, makanan, dan produk kefarmasian penting untuk mendapat prioritas, sehingga kami mendorong segera dijadikan undang-undang," kata Junaidi Khotib di kantor Watimpres Jakarta, Selasa(28/2/2023).
Menurut Junaidi, pengawasan produk obat dan makanan di Indonesia hingga saat ini belum bersifat menyeluruh, terbukti dengan kemunculan sejumlah kasus keracunan obat, seperti cemaran Etilen Glikol/Dietilen Glikol (EG/DEG) melebihi ambang aman, hingga nitrogen cair yang terkandung dalam produk jajanan anak.
Sementara itu, Arist Merdeka Sirait menyoroti tentang isu BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) yang kini banyak dikonsumsi anak, sebab pelabelan BPA merupakan hal penting dalam mengedukasi keluarga terkait bahaya yang bisa ditimbulkan dalam jangka waktu panjang.
"Dari perspektif perlindungan anak, ada bahaya BPA yang kini mengancam kesehatan anak, balita, hingga janin ibu hamil. Migrasi BPA dari alat minum cukup mengancam kehidupan masyarakat," katanya.
Ia mendorong kepada pemerintah untuk segera membuat pengaturan yang tegas tentang pelabelan AMDK pada kemasan plastik. BPOM telah mengajukan revisi kedua Peraturan Kepala BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan kepada Presiden untuk disetujui dan segera disahkan.
Arist mengemukakan terdapat temuan pada post market mengenai migrasi pada AMDK galon polikarbonat yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, terutama pada usia rentan, yaitu bayi, balita dan janin pada ibu hamil.
"Revisi aturan yang baru tentang pelabelan BPA ini didukung dengan naskah akademik yang lengkap. Sudah diserahkan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara (Setneg)," katanya.
Menurut Arist, dokumen aturan pelabelan BPA yang dihimpun BPOM berdasarkan hasil kajian berbagai kalangan terkait masih dalam pembahasan di Sekretariat Negara (Setneg). "BPOM sudah banyak dokumen tentang BPA, tapi masih 'parkir' di Setneg. Percepat RUU POM, segera dibahas, sebelum RUU ini disahkan, pelabelan itu harus dipercepat," katanya.
Sementara itu, Pakar Hukum dan Kebijakan Publik sekaligus Staf Khusus Rektor UI Ima Mayasari mendorong Presiden Joko Widodo segera melakukan persetujuan substansi terhadap rancangan peraturan kepala BPOM, sebab dari semua pemangku kepentingan yang ada telah menyetujui dan menyepakati urgensi aturan tersebut.
"Terkait RUU kita tahu, BPOM butuh payung hukum dalam RUU POM. Komisi IX juga mendorong pengesahan RUU POM yang kemudian menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di 2019--2024. Ini perlu, karena penataan regulasi harus berujung pada penguatan sebuah kelembagaan yang mandiri di dalam konteks pengawasan obat dan makanan," katanya.
Seluruh masukan tersebut telah disampaikan kepada Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, di antaranya Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, Agung Laksono, dan Putri Kuswisnuwardhani.
- Penulis :
- Desi Wahyuni