
Pantau - Upaya Indonesia menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045 bukan sekadar narasi politik, melainkan tantangan peradaban yang membutuhkan lompatan struktural di berbagai sektor.
Laporan terbaru McKinsey Global Institute berjudul The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia's Productivity menegaskan bahwa dua kunci keberhasilan transformasi ekonomi Indonesia adalah peningkatan produktivitas secara radikal dan penciptaan ekosistem yang memungkinkan hadirnya tiga kali lebih banyak perusahaan menengah dan besar.
Indonesia, yang kini menjadi ekonomi terbesar ke-16 di dunia, tidak kekurangan skala, tetapi menghadapi tantangan besar dalam mengubah skala tersebut menjadi kekuatan produktif yang nyata.
Untuk mencapai status negara high-income dengan pendapatan minimal 14.000 dolar AS per kapita, Indonesia harus menaikkan pertumbuhan produktivitas dari rata-rata 3,1 persen sejak tahun 2000 menjadi 4,9 persen per tahun.
Butuh Ekosistem untuk Perusahaan Tumbuh, Bukan Sekadar UMKM Bertahan
Produktivitas yang dimaksud tidak sekadar efisiensi kerja, melainkan penciptaan nilai tambah dalam rantai ekonomi yang kompleks.
Perusahaan dengan kapasitas bertumbuh, mengadopsi teknologi, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan berekspansi lintas sektor sangat vital untuk mendorong kemajuan ekonomi.
Namun, struktur insentif ekonomi nasional dinilai belum mendukung terciptanya perusahaan besar.
Banyak UMKM tetap kecil karena terkendala masalah administratif, keterbatasan akses pembiayaan, dan regulasi yang tidak stabil.
Target untuk melipatgandakan jumlah perusahaan besar merupakan seruan revolusi institusional agar birokrasi berubah menjadi enabler pertumbuhan, bukan penghambat.
Chris Bradley, Senior Partner McKinsey, menyebut bahwa sektor jasa diperkirakan akan menjadi kontributor terbesar terhadap value added, selain manufaktur dan pertanian.
Sementara itu, Managing Partner McKinsey Indonesia, Khoon Tee Tan, menekankan perlunya lima modal utama bekerja serentak: sistem keuangan tangguh, sistem pendidikan yang kuat, regulasi usaha yang mudah, infrastruktur kelas dunia, serta ekosistem pendukung untuk start-up dan UMKM.
Dari Infrastruktur hingga Regulasi, Semua Harus Bergerak Serentak
Modal keuangan Indonesia dinilai terlalu lama didominasi oleh sektor perbankan konservatif, menyebabkan stagnasi perusahaan rintisan.
Kredit swasta yang rendah dan pasar modal yang dangkal turut mempersempit ruang tumbuh bagi pelaku usaha.
Tanpa reformasi pembiayaan dan insentif fiskal yang progresif, akselerasi pertumbuhan perusahaan akan terus tertahan.
Modal manusia juga menjadi sorotan, bukan hanya dari sisi akses pendidikan, tetapi ketidaksesuaian keterampilan lulusan dengan kebutuhan industri.
Dibutuhkan tenaga kerja yang fleksibel, adaptif, dan kreatif, sementara kurikulum pendidikan tinggi masih dianggap terlalu usang dan tidak responsif terhadap perubahan dunia kerja.
Dari sisi institusi, ketidaksinkronan regulasi, lambannya perizinan, dan ketidakpastian hukum masih menjadi hambatan utama.
Reformasi birokrasi tidak cukup hanya administratif, tetapi harus membangun kepercayaan dan konsistensi aturan bagi pelaku usaha.
Infrastruktur pun harus mencakup lebih dari sekadar jalan dan pelabuhan.
Akses internet yang merata menjadi bagian penting dari pembangunan, sebab kesenjangan digital antara kota besar dan daerah tertinggal berpotensi memperdalam ketimpangan.
Pembangunan ekonomi harus inklusif baik secara spasial maupun digital.
Modal kewirausahaan perlu diperkuat lewat ekosistem seperti venture capital dan private equity, serta dukungan regulasi yang tidak melihat start-up hanya sebagai simbol gaya hidup, tetapi sebagai fondasi ekonomi masa depan.
Transformasi menuju Indonesia berpendapatan tinggi tidak akan tercapai tanpa keberanian politik untuk mengambil keputusan yang tidak populer.
Menjaga sektor tidak efisien demi kepentingan politik dan mempertahankan birokrasi usang sama saja dengan menyabotase masa depan generasi mendatang.
Negara harus menyeimbangkan peran strategisnya dengan dinamika pasar melalui eksekusi kebijakan yang cerdas, adaptif, dan konsisten.
- Penulis :
- Gian Barani