
Pantau - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, pada Kamis, 15 Mei 2025.
Sidang yang tercatat dengan nomor perkara 180/PUU-XXII/2024 ini mengagendakan mendengarkan keterangan dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.
Permohonan uji materi diajukan oleh lima orang jaksa, yaitu Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudiradja, Muh. Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswarih.
Para pemohon menggugat beberapa pasal dalam UU Ekstradisi karena dianggap memuat potensi konflik kepentingan antar lembaga serta ketidakjelasan dalam prosedur administratif ekstradisi.
DPR Angkat Potensi Konflik Kepentingan dan Tegaskan Wewenang Menteri Hukum
DPR RI hadir dalam sidang melalui Abdullah, Anggota Komisi III DPR RI, sebagai kuasa dan pemberi keterangan resmi berdasarkan Surat MK nomor 181.180/PUU/PAN.MK/PS/05/2025 tertanggal 6 Mei 2025.
Dalam keterangannya, Abdullah menilai bahwa permohonan dari para jaksa pemohon dapat menimbulkan conflict of interest dan kompetisi antar lembaga.
DPR menegaskan bahwa Central Authority dalam urusan ekstradisi dan bantuan timbal balik pidana tetap berada di bawah kewenangan Menteri Hukum.
Dalam petitumnya, DPR menyampaikan enam poin penting, antara lain:
“Memohon agar permohonan para pemohon dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak memiliki legal standing”
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidaknya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima”
“Meminta MK menerima seluruh keterangan DPR RI”
“Menyatakan bahwa pasal-pasal yang diuji dalam UU Ekstradisi tetap konstitusional dan memiliki kekuatan hukum mengikat”
“Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 10 dalam UU Bantuan Timbal Balik juga tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945”
“Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia”
Usai sidang, Abdullah menyampaikan dalam wawancara dengan Parlementaria bahwa pengaturan mengenai ekstradisi sudah melalui pembahasan bersama DPR sebelumnya dan kewenangan permohonan tidak berada pada Kejaksaan.
“UU ini memang sudah diatur sejak lama. Kalau teman-teman DPR merasa perlu ada perubahan, ya kita bicarakan bersama. Tapi sejauh ini, posisinya tetap seperti yang sudah diatur dalam UU, di bawah Kementerian Kehakiman—meskipun nomenklaturnya sekarang sudah berubah”
Sidang akan kembali dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan dari pihak Presiden serta para pemohon.
Putusan akhir akan ditentukan oleh Majelis Hakim Konstitusi setelah seluruh proses pemeriksaan rampung.
- Penulis :
- Arian Mesa