
Pantau - Dua warga negara asing asal Malaysia berinisial OKH (53) dan CY (29) ditetapkan sebagai tersangka kasus ilegal akses dan pemalsuan dokumen elektronik dengan modus SMS blast yang digunakan untuk mencuri data pribadi masyarakat melalui teknik phishing.
Modus Link Palsu dan Aplikasi SMS Blasting
Modus yang digunakan pelaku adalah menyebarkan pesan singkat berisi tautan palsu yang mengatasnamakan bank kepada calon korban.
Saat tautan diklik, korban diarahkan ke laman palsu yang meminta informasi sensitif seperti nama lengkap, alamat, dan nomor kartu debit atau kredit.
Data yang dihimpun dari laman tersebut kemudian digunakan untuk melakukan transaksi ilegal dan pencurian dana dari rekening korban.
Pelaku ketiga berinisial LW (35), yang juga berkewarganegaraan Malaysia, masih buron dan telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Para pelaku menyebar SMS blast di lokasi-lokasi ramai seperti Bundaran HI, kawasan SCBD, dan pusat perbelanjaan, dengan harapan menjangkau lebih banyak korban potensial.
Alat khusus yang digunakan pelaku mampu mengirim SMS ke ribuan nomor sekaligus tanpa terdeteksi, dan berbeda dengan WhatsApp atau Telegram, identitas pengirim SMS sulit dikenali.
Pesan yang dikirim umumnya mengandung tawaran menarik untuk memancing korban agar mengklik tautan yang disisipkan.
Kerugian Besar dan Imbauan Perlindungan Data Pribadi
Hudiyanto dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau masyarakat agar tidak sembarangan mengklik tautan yang diterima melalui SMS, email, atau aplikasi pesan instan.
"Jaga data pribadi seperti menjaga nyawa. Jangan asal klik, ganti kata sandi secara berkala, dan abaikan SMS mencurigakan," ungkapnya.
Indonesia Anti Scam Center OJK mencatat terdapat 153 ribu laporan penipuan siber dengan total kerugian mencapai Rp3,2 triliun, dan sebanyak 54 ribu rekening telah diblokir.
Rata-rata terdapat 718 laporan penipuan per hari, menunjukkan masifnya kejahatan siber yang terus mengancam keamanan digital masyarakat.
Sebagai upaya mitigasi, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 sebagai revisi UU ITE, yang mengatur ancaman pidana maksimal enam tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar bagi pelaku kejahatan siber.
Selain itu, Direktorat Reserse Siber telah dibentuk di sejumlah Polda untuk melakukan penyelidikan, patroli digital, dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya kejahatan dunia maya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf