
Pantau - Anggota Komisi I DPR RI, Junico B.P. Siahaan, menegaskan pentingnya redefinisi konsep “siaran” dalam revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang tengah dibahas di parlemen. Ia menilai, tanpa pembaruan definisi yang relevan dengan perkembangan teknologi digital, regulasi penyiaran akan tertinggal dan tidak mampu menjangkau pemain besar di industri platform digital.
"Awalnya memang redefinisi ini penting. Karena kalau dibilang siaran, definisinya kan one to many. Sementara hari ini platform (digital) tidak merasa bahwa mereka menyiarkan," ujar Junico, yang akrab disapa Nico.
Analogikan dengan Kasus Transportasi Digital, Tegaskan Potensi Ketimpangan
Nico menyoroti bahwa situasi saat ini mirip dengan konflik antara taksi konvensional dan layanan transportasi berbasis aplikasi yang tidak menganggap diri sebagai perusahaan transportasi, meskipun merebut pasar yang sama.
"Yang satu menganggap dirinya perusahaan perhubungan, yang satu bilang platform. Sementara mereka sudah ambil pangsa industri existing. Ini sama dengan penyiaran," katanya.
Menurutnya, tanpa titik temu dalam definisi hukum, revisi UU Penyiaran bisa kehilangan efektivitas. Bahkan, diperlukan kemungkinan pembentukan undang-undang baru khusus untuk mengatur platform digital.
"Kalau enggak ketemu mungkin kita bicara mengenai undang-undang yang baru. Nggak bisa lagi bicara masalah undang-undang penyiaran. Karena tantangan ke depan ada AI, ada Starlink, kita nggak tahu nyebutnya apa nanti," tegasnya.
Dampak Ekonomi dan Desakan Perlindungan Industri Penyiaran Konvensional
Nico juga mengangkat isu ketimpangan ekonomi akibat pergeseran iklan dari media konvensional ke platform digital. Ia menyebut bahwa dampaknya telah menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor penyiaran.
"Hari ini teman-teman radio televisi sudah menjerit. Iklannya 90 persen ada di sebelah sana. Sudah ada PHK batch pertama 4000 orang dari televisi, dan pasti akan ada batch berikutnya," ungkapnya.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, ia mendorong penguatan lembaga pengawas seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), perlindungan konsumen, dan penataan iklan agar lebih adil di era multiplatform.
DPR Buka Wacana Regulasi Ala Eropa, Dorong Masukan dari Pemangku Kepentingan
Nico membuka wacana agar revisi UU Penyiaran meniru pendekatan Eropa, yang secara tegas menargetkan regulasi terhadap platform digital besar.
Ia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk konten kreator dan asosiasi industri, untuk memberikan masukan konkret dalam proses revisi agar substansinya mencerminkan realitas lapangan.
Di akhir pernyataannya, Nico menekankan bahwa revisi tidak perlu menunggu hingga sempurna untuk segera disahkan.
"Kalau kita nunggu sempurna terus, lima tahun lagi belum selesai. Jadi revisi undang-undang penyiarannya yuk kita selesaikan. Definisi yang hari ini ada, yuk kita sama-sama sampaikan," pungkasnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Tria Dianti