Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Anggota DPR Minta Pemerintah Tidak Tarik Beras dari Pasar, Tegaskan Dampak Harga dan Psikologi Publik

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Anggota DPR Minta Pemerintah Tidak Tarik Beras dari Pasar, Tegaskan Dampak Harga dan Psikologi Publik
Foto: (Sumber: Anggota Komisi IV DPR RI Riyono. Foto: Oji/vel)

Pantau - Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, meminta pemerintah untuk tidak gegabah menarik beras dari pasar menyusul polemik beras oplosan yang belakangan mencuat ke publik.

Menurutnya, penarikan beras secara masif berpotensi menyebabkan kekosongan pasokan dan kenaikan harga di tingkat konsumen.

"Melihat hasil penanganan beras oplosan yang dilakukan Satgas Pangan menurut saya sudah cukup. Hentikan para pengusaha nakal, tegakkan hukumnya, tapi beras yang sudah ada di pasar sebaiknya jangan ditarik. Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan mendorong kenaikan harga," tegasnya.

Stabilitas Harga Lebih Penting daripada Reaksi Berlebihan

Riyono menekankan bahwa isu pangan adalah isu sensitif, yang jika ditangani secara keliru dapat berpengaruh besar terhadap stabilitas ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan.

Ia kembali menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara tegas kepada pelaku usaha curang, namun beras yang sudah beredar tidak perlu ditarik.

Menurutnya, tindakan tersebut justru akan menyebabkan keresahan, merusak psikologi pasar, serta mendorong spekulasi harga.

Riyono juga menyoroti perlunya menjaga stabilitas harga di tengah kinerja positif petani, di mana harga Gabah Kering Panen (GKP) sudah berada di kisaran Rp6.500 per kilogram, namun harga beras di pasar tetap tinggi, meskipun stok Bulog cukup.

Istilah “Oplosan” Dinilai Berkonotasi Negatif

Riyono tidak sepakat dengan penggunaan istilah "beras oplosan", karena dianggap memberi kesan penipuan secara umum terhadap seluruh praktik pencampuran beras.

Dalam dunia penggilingan dan distribusi beras, pencampuran untuk menyesuaikan mutu, rasa, warna, kadar air, hingga kadar patahan dianggap lazim dan legal selama sesuai dengan label.

"Beras yang disebut oplosan itu lebih tepat disebut beras tidak sesuai mutu. Karena yang bermasalah biasanya ketidaksesuaian antara label dan fisiknya. Tidak semua pencampuran beras itu berarti penipuan," jelasnya.

Harga Harus Transparan dan Dijaga Tetap Terjangkau

Berdasarkan kunjungannya ke desa-desa terpencil di Ngawi dan Ponorogo, Riyono mendapati harga beras konsumsi berada di kisaran Rp12.000–Rp14.000 per kilogram, sedangkan penghasilan harian masyarakat hanya sekitar Rp60.000–Rp100.000.

Kondisi tersebut menurutnya menunjukkan pentingnya pengendalian harga beras, bukan hanya tindakan administratif seperti penarikan produk.

Ia mengusulkan agar harga beras diturunkan dan diumumkan secara terbuka di pasar agar masyarakat dapat menerima informasi yang jelas dan tidak terjebak spekulasi.

"Sekali lagi, beras yang tidak sesuai mutu jangan ditarik. Turunkan harganya dan umumkan terbuka di pasar agar rakyat tahu. Kalau ditarik, saya khawatir stok akan berkurang dan harga akan naik kembali," tutupnya.

Penulis :
Ahmad Yusuf