billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Fadli Zon Serukan Reinventing Identitas Bangsa di Forum GREAT Lecture: "Kebudayaan Bukan Hiasan Festival"

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Fadli Zon Serukan Reinventing Identitas Bangsa di Forum GREAT Lecture: "Kebudayaan Bukan Hiasan Festival"
Foto: (Sumber: Forum GREAT Lecture bertajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru digelar di Jakarta, 14 Agustus 2025. ANTARA/HO-GREAT Institute.)

Pantau - Delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia masih dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang jati dirinya sebagai bangsa di tengah arus perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang kian cepat.

Nilai-nilai budaya semakin terpinggirkan, kerap hanya hadir sebagai simbol tanpa makna hidup di tengah masyarakat yang digempur globalisasi.

Reinventing Indonesia's Identity, Bukan Sekadar Wacana

Hal ini mengemuka dalam Forum GREAT Lecture bertema “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” yang digelar di Jakarta pada 14 Agustus 2025.

Menteri Kebudayaan Dr. H. Fadli Zon dalam pidatonya menegaskan bahwa reinventing Indonesia’s identity bukanlah sekadar wacana elitis, tetapi harus menjadi proyek besar kebangsaan yang menyentuh sejarah, kebijakan, pendidikan, hingga praktik sehari-hari.

Ia menyebut Indonesia sebagai negeri dengan kekayaan budaya yang luar biasa, baik yang berwujud maupun tak berwujud, seperti wayang, reog, jamu, dan keris.

Namun, ia mengingatkan bahwa kekayaan itu akan menjadi sia-sia jika hanya dijadikan hiasan festival tanpa ruang dialektika yang hidup.

“Yang penting bukan siapa menang, tapi pergulatan pemikiran itu sendiri,” ujarnya, mengulas kembali sejarah dialektika kebudayaan Indonesia, mulai dari Polemik Kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, hingga pertentangan antara Manifes Kebudayaan dan Lekra pada 1960-an.

Fadli Zon juga mengutip Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Ia menyampaikan bahwa budaya Indonesia sudah eksis sejak zaman Homo erectus yang hidup 1,8 juta tahun lalu, dan bahwa lukisan gua tertua di dunia ditemukan di Muna dan Maros, lebih tua dari yang ada di Eropa.

“Kita ini melting pot sejak dulu kala. Kita bukan tempat tujuan. Tapi tempat keberangkatan,” tegasnya.

Kritik Terhadap Elit yang Gagal Memahami Budaya

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, dalam kesempatan yang sama mengkritik lemahnya pemahaman para elite terhadap kebudayaan di wilayah kekuasaannya.

Ia mencontohkan kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara sepihak di tengah penderitaan ekonomi rakyat, yang justru memicu kekacauan dan berujung pada pemakzulan seorang bupati.

Menurutnya, kebijakan publik harus lahir dari pemahaman yang utuh terhadap realitas sosial dan nilai-nilai masyarakat setempat.

“Tanpa pemahaman tersebut, keputusan hanya menjadi produk teknokratis yang miskin empati,” katanya.

Fadli Zon juga mengungkapkan bahwa ia telah mengunjungi 101 negara dan menyimpulkan bahwa tidak ada negara yang sekaya Indonesia dalam kekayaan budaya, baik yang tangible maupun intangible.

Dari 2.213 budaya takbenda Indonesia, baru 16 yang diakui UNESCO, seperti wayang, batik, keris, jamu, dan reog.

Forum ini menjadi pengingat penting bahwa tantangan kebudayaan Indonesia bukan hanya soal pelestarian, tapi juga soal keberpihakan dalam kebijakan dan narasi nasional.

Penulis :
Ahmad Yusuf