
Pantau - Tiga hakim yang memutus vonis lepas dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) tahun 2022 didakwa menerima suap sebesar Rp21,9 miliar dari pihak terdakwa melalui serangkaian pertemuan dan transaksi terencana.
Ketiganya adalah Djuyamto selaku hakim ketua, serta Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharuddin sebagai hakim anggota.
Dua Tahap Suap, Total Terima Rp21,9 Miliar
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung, Muhammad Fadil Paramajeng, mengungkapkan bahwa para hakim menerima uang suap dalam bentuk dolar Amerika Serikat untuk menjatuhkan putusan ontslag (lepas dari segala tuntutan hukum).
Penerimaan uang dilakukan dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, Djuyamto menerima Rp1,7 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing menerima Rp1,1 miliar.
Tahap kedua, Djuyamto kembali menerima Rp7,8 miliar, dan Agam serta Ali masing-masing memperoleh Rp5,1 miliar.
Suap ini diberikan bersama-sama dengan mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
Kelima orang ini didakwa menerima total suap senilai 2,5 juta dolar AS atau sekitar Rp40 miliar.
Rangkaian Suap Diatur Sejak Januari 2024
Kasus ini bermula dari penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung pada Juni 2023 terkait dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO oleh tiga grup korporasi sawit besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Pada akhir Januari 2024, salah satu advokat bernama Ariyanto mendatangi Wahyu Gunawan untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng yang akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Wahyu mengaku mengenal Arif, Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, dan kemudian menginformasikan bahwa hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut adalah Djuyamto, Ali, dan Agam.
Pada Mei 2024, Ariyanto menyerahkan uang senilai Rp8 miliar dalam bentuk pecahan 100 dolar AS (setara 500 ribu dolar AS) kepada Wahyu sebagai uang "baca berkas".
Sebagian uang itu disimpan oleh Wahyu untuk pribadi, dan sisanya dibagikan kepada Arif dan tiga hakim.
Uang Rp60 Miliar Disiapkan untuk Putusan Lepas
Tak berhenti di situ, Ariyanto meminta Marcella Santoso untuk menghubungi Syafei agar menyiapkan dana sebesar Rp60 miliar guna pengurusan putusan ontslag.
Setelah menerima uang dari Syafei, Ariyanto menyerahkan 2 juta dolar AS dalam pecahan 100 dolar AS kepada Wahyu, yang kemudian didistribusikan kepada Arif dan tiga hakim.
Arif sempat menyatakan bahwa jumlah tersebut tidak sesuai dengan permintaan awal sebesar 30 juta dolar AS, namun Ariyanto menegaskan bahwa jumlah tersebut sudah cukup.
Pada 19 Maret 2025, Majelis Hakim yang diketuai Djuyamto secara resmi menjatuhkan vonis lepas terhadap terdakwa dalam kasus korupsi CPO, sesuai permintaan pihak korporasi.
Didakwa Langgar UU Pemberantasan Korupsi
Ketiga hakim didakwa melanggar Pasal 6 ayat (2), atau Pasal 12 huruf c, atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Uang suap yang mereka terima berasal dari para advokat dan pihak korporasi terdakwa dalam perkara CPO, yaitu Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei.
Proses hukum terhadap kelima pejabat pengadilan ini kini menjadi sorotan nasional dalam upaya membersihkan lembaga peradilan dari praktik suap dan intervensi korporasi.
- Penulis :
- Aditya Yohan